Palembang, JITOE.com – Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) masih menjadi tantangan besar di Sumatera Selatan (Sumsel), yang saat ini berstatus endemis berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 708/2024. Status ini menunjukkan bahwa virus PMK masih ada di lingkungan Sumsel, namun pemerintah tidak tinggal diam. Sebaliknya, langkah-langkah konkret terus dilakukan untuk melindungi sektor peternakan dari dampak yang lebih luas.
Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia Sumsel, Jafrizal, menyampaikan bahwa status endemis ini bukanlah sebuah kekalahan, melainkan peluang untuk semakin memperkuat strategi pengendalian. Ia menekankan bahwa kondisi serupa dialami oleh hampir seluruh provinsi di Indonesia, sehingga kolaborasi dan upaya bersama menjadi kunci untuk melawan penyakit ini.
“Status endemis artinya virus PMK masih ada di lingkungan kita. Namun, ini bukan aib karena hampir seluruh provinsi di Indonesia juga mengalami hal yang sama,” kata Jafrizal, Selasa (21/01/2025).
Menurut Jafrizal, terdapat empat skenario yang dapat menyebabkan PMK kembali merebak di Sumsel. Pertama, masuknya hewan sakit dari luar daerah yang membawa virus PMK. Untuk mencegah hal ini, diperlukan pengawasan ketat terhadap lalu lintas hewan.
Kedua, sapi sehat yang belum divaksin dapat terinfeksi apabila memasuki daerah yang telah terpapar virus. Oleh karena itu, vaksinasi dan karantina menjadi langkah yang sangat penting.
Ketiga, sapi sehat yang belum divaksin di wilayah Sumsel juga berpotensi terinfeksi jika daya tahan tubuhnya melemah dan terpapar virus dari sapi lain.
Keempat, sapi yang sudah divaksin pun tetap berisiko jika imunitasnya menurun akibat stres atau kondisi tubuh yang lemah.
“Vaksinasi adalah senjata utama kita. Namun, ketersediaan vaksin hibah masih terbatas, sehingga kita perlu mendorong peternak untuk melakukan vaksinasi mandiri,” tambah Jafrizal.
Berdasarkan data Pemprov Sumsel ada sekitar 10 ribu dosis vaksin yang akan diberikan kepada peternak di 17 kabupaten/kota. Hanya saja, jumlah tersebut dinilai tidak mencukupi untuk seluruh hewan ternak yang ada sehingga perlu upaya mandiri dari peternak menengah dan besar untuk melakukan vaksinasi mandiri.
Selain itu, menurut Jafrizal, biosekuriti harus diterapkan secara ketat. Setiap orang, hewan, dan kendaraan yang masuk ke area peternakan wajib menjalani proses disinfeksi untuk mencegah penyebaran penyakit.
Meskipun berbagai langkah telah diambil, tantangan dalam pengendalian PMK masih ada. Salah satunya adalah kurangnya tenaga teknis, seperti dokter hewan, paramedik, dan vaksinator. Untuk mengatasinya, kata Jafrizal, diperlukan pelatihan dan pelibatan lebih banyak pihak dalam upaya vaksinasi dan penanganan hewan yang terinfeksi.
Dampak PMK tidak hanya dirasakan oleh peternak, tetapi juga masyarakat luas. Kelangkaan sapi dan daging yang disebabkan oleh wabah ini dapat memengaruhi ketersediaan bahan pangan serta harga kebutuhan pokok, terutama menjelang hari raya kurban.
“Hampir 80% kebutuhan sapi di Sumsel berasal dari luar daerah. Jika tidak diatasi dengan baik, kelangkaan sapi dan daging akan sangat berdampak pada masyarakat,” pungkas Jafrizal.
Dia mengingatkan bahwa kolaborasi antara pemerintah, peternak, dan tenaga teknis sangat penting untuk memutus mata rantai penyebaran PMK dan menjaga kestabilan sektor peternakan di Sumsel.(*)