Layanan paylater, atau dikenal juga dengan istilah buy now, pay later (BNPL), telah membawa perubahan besar dalam pola konsumsi masyarakat. Kehadiran metode pembayaran ini, yang memungkinkan konsumen memperoleh barang atau jasa terlebih dahulu dan membayarnya di kemudian hari, menjadi solusi bagi kebutuhan finansial yang semakin kompleks. Namun, seperti inovasi lainnya, paylater juga menghadirkan sejumlah peluang dan tantangan yang perlu diantisipasi dengan baik, baik oleh konsumen maupun regulator.
Kemudahan dan Inklusi Finansial
Kemunculan paylater menjadi angin segar bagi masyarakat, terutama mereka yang selama ini sulit mengakses kartu kredit. Di Indonesia, sistem kredit berbasis kartu kredit seringkali terbatas hanya pada kelompok masyarakat tertentu yang memiliki penghasilan tetap atau rekam jejak keuangan yang baik. Paylater menghapus hambatan tersebut dengan menawarkan akses cepat dan mudah melalui aplikasi digital.
Hal ini sejalan dengan upaya inklusi keuangan, di mana semakin banyak masyarakat dapat menikmati kemudahan kredit tanpa melalui proses yang rumit. Bank-bank besar seperti BCA dan Bank Mandiri pun ikut terjun ke pasar ini, menunjukkan bahwa paylater bukan hanya tren sementara, tetapi juga peluang besar untuk mendekatkan layanan keuangan kepada lebih banyak orang.
Kemudahan ini semakin relevan di tengah kondisi ekonomi pasca-pandemi, di mana daya beli masyarakat menjadi salah satu elemen yang perlu diperkuat untuk mendorong pemulihan ekonomi. Dengan limit kredit yang fleksibel, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan mendesak tanpa harus menunggu ketersediaan dana tunai.
Tren Global dan Pertumbuhan Lokal
Tidak hanya di Indonesia, tren BNPL juga berkembang pesat secara global. Dalam laporan Coherent Market Insights, nilai pasar BNPL diproyeksikan tumbuh hingga 33,64 miliar dolar AS pada tahun 2027. Pertumbuhan ini menunjukkan bahwa layanan tersebut menjadi solusi yang relevan di era digital, terutama karena menawarkan fleksibilitas pembayaran dan bunga nol persen pada periode tertentu.
Di Indonesia, pertumbuhan layanan paylater juga cukup signifikan. Laporan DailySocial Research menunjukkan bahwa paylater menjadi layanan keuangan digital favorit kedua setelah dompet digital. Hal ini mengindikasikan perubahan preferensi masyarakat terhadap metode pembayaran yang lebih modern, praktis, dan sesuai dengan kebutuhan sehari-hari.
Namun, tren ini juga membawa pertanyaan besar: apakah pertumbuhan paylater ini mencerminkan keberlanjutan ekonomi atau justru memicu perilaku konsumtif yang berisiko di masa depan?
Risiko yang Mengintai
Meskipun memberikan banyak manfaat, penggunaan paylater tidak lepas dari risiko yang signifikan. Salah satu risiko utama adalah perilaku konsumtif yang tidak terkendali. Kemudahan mendapatkan fasilitas kredit dapat membuat konsumen tergoda untuk membeli barang di luar kemampuan finansial mereka. Akibatnya, beban utang semakin menumpuk dan sulit dilunasi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengingatkan bahwa konsumen yang gagal melunasi tagihan berpotensi masuk dalam daftar kolektibilitas bermasalah. Hal ini tidak hanya berdampak pada reputasi keuangan mereka, tetapi juga membatasi akses mereka terhadap layanan keuangan lainnya di masa depan.
Bagi penyedia layanan, risiko utamanya terletak pada kredit macet. Jika konsumen tidak mampu membayar, perusahaan penyedia layanan paylater bisa mengalami kerugian besar, yang pada skala lebih luas dapat mengganggu stabilitas industri keuangan.
Peran Regulasi dalam Mengatasi Tantangan
Untuk memitigasi risiko tersebut, OJK telah mempersiapkan regulasi baru terkait skema BNPL yang direncanakan berlaku pada 2027. Salah satu poin penting dari regulasi ini adalah penetapan batas usia minimal 18 tahun dan penghasilan bulanan minimal Rp3 juta bagi pengguna paylater. Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa fasilitas ini hanya digunakan oleh mereka yang memiliki kemampuan finansial dan literasi keuangan yang memadai.
Regulasi ini juga menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menciptakan ekosistem keuangan digital yang aman dan berkelanjutan. Namun, upaya ini perlu didukung dengan pengawasan yang ketat dan edukasi masyarakat. Banyak konsumen yang tergoda oleh kemudahan paylater tanpa memahami konsekuensi jangka panjangnya. Oleh karena itu, literasi keuangan harus menjadi prioritas, terutama bagi generasi muda yang menjadi pengguna utama layanan ini.
Bijak Menggunakan Paylater
Paylater adalah inovasi yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan inklusi keuangan dan mendorong konsumsi. Namun, di balik manfaatnya, terdapat risiko yang perlu diantisipasi secara matang. Konsumen harus menggunakan fasilitas ini dengan bijak, memastikan bahwa utang yang mereka ambil sesuai dengan kemampuan bayar.
Regulator dan penyedia layanan juga memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan ekosistem yang sehat. Regulasi yang ketat, edukasi keuangan, dan transparansi dalam penyediaan layanan adalah kunci untuk memaksimalkan manfaat paylater sekaligus meminimalkan risikonya.
Dengan pengelolaan yang tepat, paylater dapat menjadi alat yang tidak hanya memudahkan masyarakat dalam bertransaksi, tetapi juga memperkuat sektor keuangan Indonesia di era digital. Namun, tanpa kehati-hatian, paylater bisa menjadi pisau bermata dua yang justru menimbulkan masalah baru dalam perekonomian.