Serangga dalam Piring Makan Bergizi Gratis Anak Sekolah
Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, baru-baru ini mengusulkan gagasan yang mengejutkan: serangga seperti belalang dan ulat sagu, boleh menjadi bagian dari menu program Makan Bergizi Gratis.
Usulan ini didasarkan pada kandungan nutrisi serangga yang tinggi dan potensinya sebagai solusi untuk meningkatkan gizi masyarakat, terutama anak-anak sekolah.
Usulan tersebut tentu saja menuai kritikan dari warganet. Bahkan mereka beramai-ramai mengusulkan agar keluarga Dadan Hindayana menjadi kelinci percobaan makan serangga gratis. Heee….
Terkait makan serangga tersebut Dadan pun menjawab, “Itu [serangga] salah satu contoh ya, kalau ada daerah-daerah tertentu yang terbiasa makan seperti itu, itu bisa menjadi menu di situ. Tapi itu contoh bahwa badan gizi ini tidak menetapkan standar menu nasional, tetapi menetapkan standar komposisi gizi,” katanya.
Stigma Serangga
Gagasan mengonsumsi serangga mungkin terdengar aneh atau bahkan menjijikkan. Pandangan ini bukan hal yang baru. Di berbagai budaya, serangga sering dianggap sebagai hama atau makanan yang hanya dikonsumsi dalam kondisi terpaksa.
Di Indonesia sendiri, meskipun beberapa daerah seperti Papua dan Yogyakarta sudah terbiasa mengonsumsi ulat sagu, jangkrik atau belalang goreng, namun untuk sebagian besar masyarakat masih memandang serangga sebagai sesuatu yang tidak layak untuk dimakan.
Stigma ini sebenarnya berakar pada kebiasaan budaya dan kurangnya edukasi mengenai manfaat serangga. Di beberapa negara seperti Thailand, Jepang, dan Belanda, serangga telah diterima sebagai bagian dari pola makan. Bahkan, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mencatat bahwa lebih dari 2 miliar orang di seluruh dunia secara rutin mengonsumsi serangga sebagai sumber protein.
Serangga: Sumber Protein yang Kaya
Stigma yang melekat pada serangga sebagai makanan sebenarnya bertolak belakang dengan fakta ilmiah. Serangga bukan hanya alternatif protein, tetapi juga memiliki kandungan nutrisi yang setara atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan sumber protein konvensional seperti daging sapi dan ayam.
- Kandungan Nutrisi: Jangkrik, belalang, dan ulat hongkong mengandung protein tinggi, lemak sehat, serta kaya akan zat besi, kalsium, dan vitamin B12. Tepung jangkrik, misalnya, mengandung lebih banyak protein dalam dua sendok makan dibandingkan dua butir telur ayam.
- Asam Lemak Esensial: Serangga juga mengandung asam lemak esensial yang mendukung fungsi otak dan kesehatan jantung, yang sangat penting bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan.
Bagi Indonesia, yang masih menghadapi masalah stunting pada 24 persen anak-anaknya menurut data Kementerian Kesehatan, serangga bisa menjadi solusi praktis.
Dengan harga yang lebih terjangkau dan produksi yang lebih mudah dibandingkan daging, serangga memang bisa menjadi kunci dalam program gizi untuk anak-anak sekolah.
Dikutip dari klikdokter.com, ada 16 jenis serangga yang populer dan diperbolehkan untuk dikonsumsi:
- Jangkrik (Acheta domesticus)
- Belalang (Locusta migratoria)
- Ulat Sutera (Bombyx mori)
- Ulat Hongkong (Tenebrio molitor)
- Lebah Larva (Apis mellifera)
- Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros)
- Kumbang Tepung (Alphitobius diaperinus)
- Semut (Oecophylla smaragdina)
- Laron (Macrotermes bellicosus)
- Belalang Kayu (Caelifera)
- Larva Kumbang Merah (Rhynchophorus ferrugineus)
- Serangga Daun (Phasmatodea)
- Kepik (Pentatomidae)
- Cacing Madu (Galleria mellonella)
- Kumbang Rusa (Lucanidae)
- Larva Kumbang Bambu (Cyrtotrachelus buqueti)
Mengubah Persepsi Melalui Inovasi dan Edukasi
Mengubah persepsi masyarakat memang bukan perkara mudah, terutama jika berhadapan dengan hal yang dianggap tabu atau aneh. Namun, di balik stigma tersebut, serangga menyimpan potensi besar sebagai sumber protein alternatif dan bergizi tinggi.
Langkah pertama untuk mengatasi stigma ini adalah melalui edukasi. Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang manfaat kesehatan dan keberlanjutan konsumsi serangga merupakan kunci. Kampanye kreatif yang melibatkan chef terkenal, influencer kuliner, dan ahli gizi dapat membantu mematahkan pandangan negatif.
Bayangkan seorang chef ternama menyajikan masakan berbahan dasar serangga di acara kuliner populer—hal ini bukan hanya mendidik, tapi juga menginspirasi!
Inovasi pengolahan juga memegang peranan penting. Serangga tidak harus disajikan dalam bentuk aslinya. Dengan teknologi modern, serangga bisa diolah menjadi tepung kaya protein yang menjadi bahan dasar untuk produk seperti biskuit, roti, mi, hingga nugget. Ini adalah cara cerdas untuk memperkenalkan serangga ke masyarakat tanpa memicu penolakan karena bentuknya.
Berbagai negara telah menunjukkan keberhasilan pendekatan ini. Thailand telah mempopulerkan camilan berbasis serangga, seperti keripik jangkrik, sementara Jepang mulai mengembangkan kari jangkrik dan sashimi ulat sutera.
Indonesia pun tak ketinggalan. Beberapa startup lokal telah mulai memproduksi camilan berbasis serangga untuk pasar dalam negeri, membuktikan bahwa ide ini semakin diterima.
Dilihat dari sisi manfaatnya, apa yang diusulkan oleh Kepala Badan Gizi Nasional, memang perlu jadi pertimbangan.
Jika dilihat dari sisi jijik atau joroknya, membandingkan melihat cara makan bebek yang berkubang dengan parit, atau ayam yang lagi makan cacing, mungkin cara makan jangkrik dan belalang tentu lebih bersih.
Namun, seperti apa yang dikatakan warganet; Sekarang siapa yang mau memulainya. Siapa yang mau dijadikan kelinci percobaan? Apakah Anda mau? Heee….