SUMSEL

Lintasan Waktu, Sebuah Kenangan

Mengenang Wartawan Senior Abadi Tumanggung:

Di suatu pagi di tahun 1983, saya bersama Mala Derita (Wartawan LKBN Antara), dan Abadi Temanggung (Koresponden Kompas) —memulai perjalanan jurnalistik kesebuah desa terpencil. Kami di saat itu disebut trio yang selalu siap sedia meliput berbagai peristiwa di Sumatera Selatan, dari hiruk-pikuk politik hingga denyut kehidupan masyarakat kecil. Dan, akulah paling muda. Termuda saat itu, sebelum tiba kawan-kawan wartawan lainnya.

Di tengah keterbatasan zaman, kami selalu menjauhkan keluhan. Hujan dan terik matahari, kami tembus untuk mendapatkan berita dengan semangat membara. Berbekal mesin ketik manual dan kamera analog yang kadang rewel, kami berupaya mendokumentasikan setiap kejadian penting, membawa suara rakyat ke halaman koran.

Tengah malam, mendapat kabar adanya jembatan runtuh, kami bergegas berangkat. Tak kenal waktu. Dunia belum semeriah ini. Berita dari sudut wilayah lain, bisa baru sampai dua tiga hari kemudian.

Hari-hari kami dipenuhi perjalanan tanpa batas. Dari satu kota ke kota lain, kamipun kerap diikutkan mengikuti langkah para pemimpin daerah, mulai dari Gubernur Sainan Sagiman hingga Ramli Hasan Basri, saat itu termasuk saat petinggi negeri datang ke wilayah Sumatera Selatan.

Setiap kebijakan yang mereka ambil, setiap program yang mereka jalankan, kami pastikan terdokumentasi. Kami mendengar, mencatat, dan melaporkan, agar masyarakat tahu apa yang terjadi di sekitar mereka.

Namun, jurnalisme bukan hanya soal pemerintahan. Kami masuk ke desa-desa terpencil, bertemu petani yang berjuang melawan harga gabah yang anjlok, berbicara dengan nelayan yang tak tahu harus bagaimana saat ikan semakin sulit didapat. Kami menuliskan kisah mereka, karena kami percaya bahwa suara rakyat kecil pun harus didengar.

Dalam perjalanan itu, kami tidak hanya bekerja. Kami berbagi tawa di sela-sela kesibukan, menghangatkan tubuh dengan kopi hitam di warung pinggir jalan, atau sekadar menikmati perjalanan di atas truk tua karena kendaraan belum tentu tersedia. Kami adalah tiga sahabat yang tak terpisahkan, saling mendukung, saling melengkapi, dan saling mengingatkan ketika kelelahan mulai mengikis semangat.

Baca Juga:   Wartawan 789 Sumatera Selatan Hadiri HPN 2025 di Riau

Puncak perjalanan kami tiba ketika Sriwijaya Post lahir sebagai harian pertama di Sumatera Selatan. Itu bukan hanya sekadar surat kabar, tetapi sebuah simbol perubahan, tonggak baru dalam dunia pers di daerah ini. Kami, yang saat itu masih muda, menjadi bagian dari kelahiran ini—sebagai wartawan, sebagai redaktur, dan sebagai pejuang kata-kata.

Malam-malam panjang kami dihabiskan di ruang redaksi yang sederhana. Teknologi belum canggih, mesin cetak masih sering bermasalah, dan jumlah wartawan sangat terbatas. Kami harus bekerja ekstra keras, menulis hingga dini hari, memeriksa halaman satu per satu dengan mata yang nyaris tak terbuka karena kantuk. Tidak jarang, kami baru pulang saat fajar menyingsing, ketika orang-orang baru memulai harinya, sementara kami justru baru bisa merebahkan tubuh barang sejenak.

Namun, tidak ada keluhan. Kami tahu, apa yang kami lakukan adalah bagian dari perjuangan. Kami ingin memastikan bahwa Sriwijaya Post menjadi suara rakyat, bukan sekadar media berita, tetapi juga penyambung lidah mereka yang tak terdengar.

Namun, takdir selalu punya jalannya sendiri. Waktu berjalan, dan jalan kami mulai bercabang. Mala Derita memilih hijrah ke Jakarta, mencari cakrawala baru dalam dunia jurnalistik. Kami tetap berkomunikasi, tetap saling berbagi cerita, meski tak lagi berada dalam satu ruang redaksi yang sama.

Lalu, kabar duka datang. Mala sakit, cukup lama. Kami tahu ia berjuang, seperti dulu ia berjuang untuk mendapatkan berita terbaik. Tapi kali ini, perjuangannya lebih berat. Hingga akhirnya, ia harus menyerah. Ia pergi, meninggalkan dunia yang telah ia abdikan dengan penuh ketulusan.

Baca Juga:   Pj Gubernur Agus  Fatoni Tandatangani NPHD Sukseskan Pemilukada Serentak 2024

Aku dan Abadi kehilangan seorang sahabat. Dunia jurnalistik kehilangan seorang pejuang. Tapi kami tahu, Mala tidak benar-benar pergi. Ia tetap hidup dalam setiap tulisan yang pernah ia buat, dalam setiap lembar koran yang pernah memuat namanya.

Dan kini, pagi ini, aku kembali menerima kabar duka. Agak telat kuterima.

Abadi Temanggung—sahabat yang selalu ada di sisiku dalam suka dan duka—telah berpulang. Aku terdiam lama, mencoba menerima kenyataan yang begitu pahit.

Abadi bukan sekadar rekan kerja. Ia adalah saudara, bagian dari perjalanan panjang yang membentuk siapa aku hari ini. Aku masih ingat bagaimana kami berdiskusi di meja redaksi, bagaimana ia selalu memberikan sudut pandang yang berbeda dalam setiap liputan, bagaimana ia begitu berdedikasi untuk memastikan bahwa kebenaran tetap menjadi inti dari setiap berita yang kami tulis. Bagaimana ia menolak setiap ‘amplop’ yang disodorkan kepadanya, agar berita-beritanya dituangkan agak sedikit melunak.

Hari ini, aku berdiri sendirian. Dua sahabat terbaikku telah pergi. Tak ada lagi Mala yang selalu punya semangat tinggi, tak ada lagi Abadi yang selalu penuh pemikiran mendalam.

Tapi aku tahu, kami tidak benar-benar berpisah. Kami tetap hidup dalam setiap lembar berita yang pernah kami tulis, dalam setiap peristiwa yang pernah kami liput, dalam setiap perubahan yang pernah kami suarakan.

Mala Derita telah pergi. Abadi Temanggung pun menyusul. Yang tersisa kini hanyalah kenangan, dan sebuah keyakinan bahwa apa yang telah kami lakukan tidaklah sia-sia.

Kami adalah wartawan. Kami adalah saksi zaman. Kami adalah tiga sahabat yang telah menulis sejarah—bukan hanya di lembaran koran, tetapi juga dalam hati setiap orang yang pernah membaca tulisan kami.

Dan sejarah itu akan tetap hidup.
Selamat jalan “Bang Atu”, akupun pasti menyusul.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button