Simpang Siur Impor Beras
Jitoe – Melalui konferensi pers virtual, Rabu (24/3/2021) Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan, pihaknya tak melihat ada indikator yang mengharuskan keran impor beras dibuka, baik itu dari sisi produksi maupun harga beras. “Ombudsman mencermati adanya potensi mal administrasi terkait mekanisme keputusan impor beras,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) produksi beras sepanjang Januari-April 2021 diperkirakan mencapai 14,54 juta ton, naik 3,08 juta ton atau 26,84 persen dibandingkan periode sama di 2020 yang sebesar 11,46 juta ton. Saat ini stok beras di Perum Bulog, penggilingan, pedagang, Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) hingga hotel, restoran, kafe (horeka) mencapai 6,79 juta ton. Maka, stok beras nasional diyakini masih relatif aman. Begitu pula dari sisi harga beras nasional yang berhasil terjaga stabil dalam tiga tahun terakhir atau sejak pertengahan 2018 hingga 2020.
Yeka Hendra Fatika menyoroti mekanisme pada rapat koordinasi terbatas (rakortas) yang dipimpin Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam memutuskan kebijakan impor beras. Sebab seharusnya rencana impor diputuskan berbasiskan data yang valid dengan memperhatikan early warning system atau sistem peringatan dini. Ha ini akan didalami oleh Ombudsman RI. “Sehingga kami melihat bahwa ini jangan-jangan ada yang salah dalam memutuskan kebijakan impor,” katanya.
Selain itu, Ombudsman RI juga melihat adanya maladministrasi dalam manajemen stok beras di Perum Bulog. Lantaran tak seimbang antara penyerapan dan penyaluran beras. Bulog ditugaskan untuk terus menyerap beras tapi kesulitan dalam menyalurkannya karena tak lagi terlibat dalam program bansos rastra.
Akibatnya banyak beras di Bulog yang turun mutu. “Jadi ini jelas pasti ada regulasi yang tidak tuntas, bisa dibilang hulu-hilir ini ada yang macet dan bermasalah karena kebijakan tidak terintegrasi. Sehingga beras turun mutu dan kerugiannya besar sekali, ” jelasnya.
Oleh karena itu, Ombudmasn RI meminta pemerintah melakukan kembali rakortas tingkat menteri untuk menunda keputusan impor beras. Setidaknya sampai melihat perkembangan panen dan pengadaan Bulog hingga Mei 2021. “Kami meminta Kemenko Perekonomian menyelenggarakan rakortas untuk menunda keputusan impor,” pungkas Yeka seperti dikutip dari Kompas.com
Latar Belakang Impor Beras
Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengungkapkan, latar belakang diputuskannya kebijakan impor beras sebanyak 1 juta ton pada tahun 2021, utamanya karena didorong stok beras cadangan Bulog yang rendah.
Lutfi mengatakan, Bulog memiliki penugasan untuk menjaga stok cadangan beras atau iron stock sebesar 1 juta-1,5 juta ton setiap tahunnya. Besaran angka stok itu merupakan prinsip dasar pemerintah sejak lama. Cadangan beras ini diperlukan untuk kebutuhan mendesak seperti bansos ataupun operasi pasar guna stabilisasi harga. Adapun pengadaan beras oleh Bulog itu bisa berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.
“Jadi kalau memang ternyata penyerapan Bulog bagus, kita tidak perlu impor. Ada tahun-tahun kita tidak perlu impor, seperti saat 2019 dan 2020,” ujar Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi dalam konferensi pers virtual, Jumat (19/3/2021).
Namun pada tahun 2021 pemerintah melihat ada beberapa hal yang perlu diantisipasi untuk bisa memastikan stok beras terjaga.
Menurut Menteri Perdagangan, stok beras cadangan Bulog saat ini hanya sekitar 800.000 ton. Sebanyak 275.000 ton dari stok tersebut merupakan beras hasil impor tahun 2018 lalu. Menurut dia, beras sisa impor itu berpotensi mengalami penurunan mutu.
“Jika dikurangi dengan beras sisa impor, jadi stok akhir Bulog mungkin hanya kisaran 500.000 ton. Ini adalah salah satu kondisi stok terendah dalam sejarah Bulog. Jadi anda bisa tahu bagaimana rasa hati saya ngilunya,” ungkap Menteri Perdagangan seperti ditulis kompas.com.
Penyerapan gabah oleh Bulog belum optimal pada masa panen raya saat ini. Hingga pertengahan Maret 2021 serapan gabah setara beras baru mencapai 85.000 ton. Lutfi menyebutkan, seharusnya Bulog saat ini sudah bisa menyerap gabah setara beras setidaknya sebanyak 400.000-500.000 ton. Meski demikian, rendahnya penyerapan tersebut bukanlah kesalahan Bulog. Sebab, ada aturan teknis yang mesti dipatuhi BUMN pangan iitu dalam membeli gabah petani.
Berdasarkan Permendag Nomor 24 Tahun 2020, patokan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah di tingkat pertani sebesar Rp 4.200 per kilogram dengan kadar air maksimal 25 persen. Maka hanya gabah yang memenuhi syarat yang bisa diserap oleh Bulog. Sementara dengan curah hujan yang tinggi saat ini kualitas beras petani rata-rata memiliki kadar air yang tinggi.
“Nah yang kejadian sekarang adalah hujan, jadi gabah basah, gabah petani itu tak bisa dibeli Bulog,” tegas Menteri Perdagangan. Padahal Bulog setidaknya harus mengeluarkan beras sebanyak 80.000 ton per bulan atau 1 juta ton per tahun. Sehingga stok cadangan beras perlu dijaga di kisaran 1 juta-1,5 juta ton.
“Bulog utamanya hanya mengandalkan operasi pasar untuk penyaluran beras, itu sekitar 1 juta ton per tahun makannya iron stock Bulog tidak boleh kurang 1 juta ton. Itu logikanya,” kata Muhammad Lutfi.
Apabila Bulog mampu menyerap beras petani dalam negeri mencapai stok 1 juta-1,5 juta ton, maka rencana impor tak perlu direalisasikan. Sebab, artinya sudah mencukupi untuk kebutuhan cadangan beras. Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi memastikan, pemerintah akan memperhatikan dinamika ke depan terkait pelaksanaan kebijakan impor. Jika memang diperlukan, ia menjamin, impor beras tidak akan dilakukan saat panen raya. “Ini adalah situasi yang dinamis. Saya jamin tidak ada impor saat panen raya. Hari ini tidak ada beras impor yang menghancurkan harga petani, karena memang belum ada yang impor,” ujar Muhammad Lutfi.
Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI menyatakan, kebijakan impor beras 1 juta ton baru bersifat wacana. Hingga saat ini, belum ada realisasi dari kebijakan impor beras.
Menurut Kementerian Pertanian menjelaskan bahwa Menteri Pertanian tidak punya kedudukan hukum atau legal standing untuk menolak rencana impor beras tersebut. Sebab, penugasan impor bukan kepada Kementerian Pertanian. Syahrul Yasin Limpo menegaskan, Kementan bertugas untuk memastikan stok pangan terjaga, termasuk beras, di sepanjang tahun 2021, khususnya pada masa bulan puasa dan Lebaran.
Menurut Menteri Pertanian, stok beras hingga Mei 2021 diperkirakan mencapai 24,90 juta ton, didorong hasil panen raya sepanjang Maret-April. Sementara kebutuhan beras nasional diproyeksi mencapai 12,33 juta ton.
Artinya, neraca beras hingga akhir Mei akan surplus sebesar 12,56 juta ton. Meski demikian, Syahrul menyatakan pihaknya tak bisa mengambil sikap secara tegas menolak atau menyetujui impor beras. Menteri Pertanian hanya memastikan, bahwa penyerapan gabah petani harus diutamakan untuk mencukupi kebutuhan beras nasional. “Upaya penyerapan gabah, saya lebih cenderung itu yang didahulukan, yang harus dimaksimalkan oleh pemerintah.
Barulah selanjutnya sekiranya tidak dilakukan impor pada saat-saat kita panen raya,” tegas Syahrul Yasin Limpo, karena Kementerian Pertanian tidak ada legal standing untuk menolak impor beras. Berkaitan dengan hal tersebut Komisi IV DPR RI menyatakan menolak rencana pemerintah untuk import beras sebanyak 1 juta ton, baik pada saat panen raya maupun saat stok beras dalam negeri melimpah.