Pendidikan

Ini Dia Tips Sukses Menulis Jurnal ala Profesor Universitas Trunojoyo Madura

JITOE – Perguruan tinggi dan jurnal ilmiah adalah dua hal yang sulit terpisahkan. Bagi perguruan tinggi, mempublikasikan jurnal ilmiah adalah suatu bentuk konstribusi positif dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan ke tengah masyarakat.

Dalam menunaikan kewajiban sebagai instutusi pendidikan, tak jarang sebagian perguruan tinggi mewajibkan mahasiswanya untuk menulis jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Dan menjadikan jurnal ilmiah sebagai alat ukur dalam rangka kenaikan pangkat dan penilaian kinerja para dosen.

Sayangnya, menulis jurnal ilmiah tak semudah yang dibayangkan. Harus memalui proses penelitian yang dilakukan bertahun-tahun, dan dapat menghabiskan dana penerbitan sampai puluhan juta rupiah. Belum lagi jika terjebak calo yang meminta uang untuk penerbitan, atau biasa dikenal sebagai jurnal predator.

Profesor Arif Muntasa dari Universitas Trunojoyo Madura, pada Webinar SEVIMA Selasa (28/12/2021), mengungkapkan cara menulis jurnal untuk kalangan akademisi dengan cara menyenangkan. Menurutnya banyak penelitian yang dapat dilakukan secara gratis, bahkan ada peluang untuk mendapat hibah atau uang bonus penelitian yang jumlahnya fantastis.

“Jangan sampai kita terjebak jurnal predator dan harus jual motor untuk meneliti!” ungkap Arif didampingi Assoc. Prof. Wahyudi Agustiono, Dosen Universitas Trunojoyo Madura.

Menurut Arif dan Wahyudi, sebelum melakukan publikasi jurnal ilmiah, seorang penulis harus memahami beberapa hal. Agar jurnal yang ditulis dapat terpublikasi, baik di tingkat internasional (Terindeks SCOPUS), maupun di tingkat nasional (Terindeks SINTA).

Berikut tips menulis jurnal ala Profesor Trunojoyo:

Baca Juga:   Poltek Nuklir Indonesia Berdaya Saing Global

Tips Sukses Menulis Jurnal

Pertama, akademisi perlu pandai dalam memilih jurnal dan penerbit.

Pertama, akademisi perlu pandai dalam memilih jurnal dan penerbit. Banyak penerbit yang menyediakan secara gratis. Ada juga kegiatan hibah penelitian yang memberi dana untuk melakukan penulisan jurnal, dan mengikuti konferensi internasional.

Peluang-peluang ini tersedia luas dan bisa dengan mudah ditemui di internet. Walaupun demikian, memang perlu ketekunan dan ketelitian dalam mengumpulkan informasi tersebut.

“Beberapa publikasi gratis terindeks SCOPUS, bisa kita coba. Diantaranya seperti International Journal of Technology dari Universitas Indonesia (UI), International Journal on Electrical Engineering and Informatic dari Institut Teknologi Bandung (ITB), serta beberapa penerbit jurnal internasional Elsevier, Taylor and Francis, Sage, dan lainnya. Kesempatan itu sangat banyak, tapi tidak jarang karena terlalu banyak informasi, kita menjadi bingung,” kata Arif yang sudah menulis 44 artikel jurnal internasional.

Kedua, belajar dari penolakan. Mirip dengan menerbitkan opini di media massa, penerbitan jurnal juga bisa ditolak.

Arif menjelaskan bahwa penolakan sangat wajar. Setelah ditolak, akademisi harus bangkit dan refleksi diri. Anda harus belajar dari kenapa jurnal Anda ditolak.

“Biasanya terdapat beberapa alasan kenapa jurnal sering ditolak. Misalnya saja seperti naskah di luar area jurnal, unsur naskah kurang lengkap, tata bahasa yang digunakan tidak layak, hingga pembahasan tersebut terlalu dangkal. Itu kita jadikan pelajaran dan perbaikan,” jelas Arif yang di Kementerian Pendidikan (Kemendikbudristek) juga dipercaya sebagai reviewer (penyeleksi) hibah penelitian.

Baca Juga:   Stisipol Candradimuka Wisuda 437 Mahasiswa

Ketiga, memilih target jurnal yang tepat dan sesuai kemampuan.

Lagi-lagi, mirip dengan media massa dimana kolom opini di koran nasional ternama tentu lebih sulit ditembus dibanding media lainnya, hal yang sama juga terjadi untuk jurnal. Akademisi harus mengetahui bagaimana target jurnal yang dipilih. Mulai dari tingkat kesulitannya, gaya selingkung, preferensi redaksi, hingga batasan-batasan yang ada dalam jurnal tersebut.

Jangan sampai misalnya, penelitian terkait teknologi, dikirimkan ke jurnal yang membahas seputar tanaman.

“Akademisi sebagai penulis ibaratnya anak tangga, kita bisa coba dulu jurnal yang peringkatnya lebih rendah, sambil bertahap meningkatkan kualitas tulisan kita dan profil kita. Nantinya pasti akan terbiasa sendiri,” ungkap Arif.

Tips-tips tersebut, sambung Wahyudi, dapat dipelajari dan diasah para akademisi seiring waktu. Ada banyak forum, sistem akademik, dan platform pembelajaran, yang bisa digunakan akademisi untuk meningkatkan diri. Termasuk dari SEVIMA, seperti Webinar yang dihadiri 3.400 orang rektor dan dosen anggota Komunitas SEVIMA tersebut.

“Pada intinya, secara kualitas penelitian, kita sebagai akademisi Indonesia tidak kalah dan sudah terbukti pintar-pintar. Tinggal diasah saja untuk sukses menulis jurnal. Yang penting, ada kemauan kuat dari akademisi untuk terus belajar. Karena inilah kewajiban kita di kampus: untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban dengan cara ditulis!” pungkas Wahyudi. (*)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button