Palembang Banjir Pantaskah Salahkan Hujan?
Oleh: Bangsa Prabu
Kala banjir menggenangi Palembang, siapa berani salahkan hujan? Jika tak pantas, haruskan kita menyalahkan pemerintah untuk bertanggungjawab? Atau jangan-jangan, kita termasuk manusia yang ikut terlibat dalam pengerusakan bumi ini?
Sebenarnya banjir bukanlah suatu bencana alam. Jangan selalu dibayangkan bahwa banjir adalah murka Tuhan, sebagaimana banjir yang menimpa kaum Nabi Nuh, atau hujan batu yang menimpa kaum Nabi Luth.
Secara sederhana, banjir adalah bencana sosial, di mana ketidakmampuan manusia dalam menampung dan mengatasi air hujan.
Penyebab terjadinya banjir, tentulah karena ulah manusia itu sendiri. Misal, karena penebangan liar, pendirian bangunan yang tidak memperhitungkan penyerapan air atau tidak sesuai dengan aturan tata ruang, dan sebagainya.
Menjadi masalah saat ini adalah bagaimana jika banjir terjadi berulang-ulang; di tempat yang sama, dalam kondisi yang sama, tergenang dalam waktu yang lama. Ibarat pepatah, jatuh di lubang yang sama.
Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Prof. Hariadi Kartodiharjo, pernah menyatakan bahwa bencana hidrometeorologi seperti banjir yang terjadi berulang-ulang, menurutnya karena akumulasi permasalahan tata ruang wilayah yang terjadi dalam waktu yang lama atau berlarut-larut. Bukan terjadi seketika.
Palembang Aslinya Memang Genangan Air
Palembang tidak bisa disamakan Jakarta. Begitupun cara penanggulangan banjirnya.
Palembang dalam bahasa Melayu berasal dari kata ‘pa’ atau ‘pe’ yang berarti tempat atau keadaan, dan ‘lembang’ atau ‘lembeng’ yang artinya tanah rendah atau genangan air. Dapat dikatakan, Palembang adalah suatu wilayah yang digenangi oleh air.
Karakteristik fisik Kota Palembang secara geografis merupakan daerah yang didominasi oleh sungai dan rawa. Berdasarkan data statistik 1990, Palembang masih terdapat 52,24% tanah yang tergenang air.
Konsep daratanisasi atau alih fungsi rawa dan anak sungai, menjadi masalah awal penyebab terjadinya banjir di Palembang.
Daratanisasi menyebabkan rumah-rumah panggung dan pasar-pasar terapung perlahan ditinggalkan. Rumah-rumah yang awalnya menghadap sungai, kemudian berbalik membelakangi sungai.
Makin parah lagi, banyak hamparan rawa ditimbun, dan beralih rupa menjadi bangunan perbelanjaan dan komplek perumahan. Tidak masalah jika pembangunan tersebut disertai dengan drainase yang baik. Namun seringkali pembangunan yang ada hanya mementingkan sisi ekonomi, daripada memikirkan dampak sepuluh-dua puluh tahun ke depan.
Awal Petaka Venesia dari Timur
Cara kolonial Belanda dalam “membusuki” suatu wilayah adalah dengan cara membandingkan wilayah tersebut, dengan wilayah lainnya. Dimirip-miripkan. Seakan-akan terkesan wilayah tersebut ‘bagus’, ‘besar’, ‘megah’, ‘hebat’, tapi sebenarnya mengecilkan wilayah atau daerah tersebut.
Tujuan kolonial Belanda saat itu jelas, untuk pariwisata, mengajak negara-negara sahabat untuk berkunjung ke negara jajahan.
Misal, Paris van Java untuk Bandung, Gibraltar van Java untuk Semarang, Switzerland van Java untuk Garut, dan Palembang disebut Venetie van het oosten atau Venesia dari Timur.
Secara interteks, Venesia dari Timur artinya Palembang meniru tampilan/karakter Venesia, karena kata ‘Venesia’ berada di depan (mempengaruhi kata sesudahnya). Padahal, kemiripan Venesia dan Palembang tidak ada korelasi. Berbeda dengan Paris van Java, di mana saat itu Bandung di Jalan Braga terdapat banyak toko pakaian Paris, dan terdapat restoran makanan khas Paris yang menjadi tempat santap pejabat dan pengusaha Belanda.
Faktanya lagi, saat Venesia baru berdiri abad ke-9 (saat itu Eropa mengalami periode Abad Kegelapan atau Dark Ages) – di waktu yang sama – Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya, tengah menebarkan layar dan cadik, menjalin hubungan internasional dengan Tiongkok, India, Arab, Mesir, dan Persia.
Apakah penjajah Belanda tahu soal Sriwijaya? Jawabannya, tentu saja tahu.
Venesia dari Timur hanyalah istilah konyol dan naif kolonial Belanda.
Buktinya adalah proyek besar yang digarap Belanda untuk men-daratanisasi-kan Kota Palembang. Salah satunya adalah dengan cara mengeruk dua sungai besar untuk diubah menjadi jalan raya.
Pertama adalah Sungai Tengkuruk yang kini menjadi Jalan Jenderal Sudirman. Dan kedua adalah Sungai Kapuran yang kini menjadi Jalan Merdeka.
Untuk mengatasi banjir, pemerintah Belanda membuat dua kolam resapan air hujan di kawasan permukiman Belanda, kedua kolam resapan tersebut sekarang ini dikenal dengan sebutan Kambang Iwak Besak dan Kambang Iwak Kecik.
Lalu setelah Indonesia merdeka, keindahan Venesia dari Timur makin buram dan bertambah buram.
Imajinasi kota air yang indah bernuansa tropis dengan kanal-kanalnya, serta kemegahan arsitektur masa lampau, seperti dongeng tidur anak-anak; setelah bangun, yang ada hanyalah tumpukan komplek rumah dan ruko-ruko yang berjajar. Tak ada jalur transportasi dengan menggunakan perahu di tengah kota, kecuali di Sungai Musi.
Di zaman kolonial Belanda ada sekitar 316 anak sungai di Palembang. Tahun 1970-an, Palembang tercatat mempunyai 280 anak sungai. Tahun 2000, jumlah anak sungai tinggal sekitar 108, dan terus menyusut hingga saat ini tersisa 42 anak sungai yang bermuara ke Sungai Musi.
Artinya Palembang, telah kehilangan lebih dari 200-an anak sungai.
Pendangkalan Sungai dan Kerugian Ekonomi
Ada yang menyatakan anak-anak Sungai Musi di Palembang adalah drainase alam, yaitu terbentuk secara natural atau alami. Namun, perlu diketahui juga, sebagian besar anak-anak sungai tersebut adalah kanal atau dibuat oleh tangan manusia. Ini merupakan bukti dari kecerdasan masa lampau.
Kanal-kanal tersebut berfungsi sebagai jalur pelayaran, pertahanan, pertanian, termasuk drainase atau pengendali banjir.
Ironisnya, karena kesalahan dalam penataan kota yang sudah terlalu lama, mengakibatkan terjadi pendangkalan, dan hilangnya satu per satu anak sungai. Bukan hanya itu, muara Sungai Musi pun terjadi pendangkalan.
Setiap tahun PT Pelindo harus mengeluarkan dana Rp 8 miliar-Rp 16 miliar untuk mengeruk lumpur di muara Sungai Musi. Biaya yang dialokasikan PT Pusri untuk pengerukan lumpur di muara Sungai Musi berkisar Rp 5 miliar per tahun. Karena sinergi dengan Pelindo tak berjalan lagi, PT Pusri hanya memfokuskan pengerukan di sekitar dermaga pupuk.
Pendangkalan di Sungai Musi juga mengganggu angkutan bahan bakar minyak Pertamina. Pertamina harus mengukur kemampuan kapasitas angkut kapal-kapal pengangkut bahan bakar minyak yang melewati alur Sungai Musi.
Pemkot Palembang Kekurangan Anggaran Atasi Banjir
Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) di Palembang adalah masalah yang harus diprioritaskan. Mengenai pembangunan sumur resapan dan pompa air adalah solusi alternatif untuk meminimalisir genangan air dalam waktu yang lama. Tapi bukan untuk menyelesaikan persoalan banjir yang hampir merata di sejumlah daerah di Palembang.
Ketika terjadi hujan dalam jangka waktu yang lama atau intensitas tinggi, sebagaimana terjadi seminggu sebelum Hari Natal, 25 Desember 2021, hampir semua wilayah di Palembang tergenang air. Dan puncaknya ketika tanggal 25 Desember yang disebut-sebut sebagai banjir terekstrem sepanjang 31 tahun terakhir. Sumur resapan tidak dapat menampung kota tua yang memang karakternya sudah berair.
Belum lagi jika Sungai Musi meluap dan pasang. Bukan hanya ekonomi yang lumpuh, tapi juga nyawa manusia dipertaruhkan.
Walaupun begitu upaya Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang di bawah kepemimpinan Walikota Harnojoyo dalam mengatasi banjir patut diacungkan jempol.
Pembangunan proyek restorasi Sungai Sekanak Lambidaro adalah bukti konkrit upaya Pemkot Palembang bersama Balai Besar Sungai Sumatera. Banyak dampak positif yang dapat dipetik dari proyek yang menelan biaya yang sangat besar itu. Daerah yang sebelumnya kumuh, disulap menjadi destinasi wisata baru.
Tujuan utama restorasi Sungai Sekanak Lambidaro adalah untuk mengembalikan fungsi sungai sebagai pengendali banjir.
Tapi apakah cukup dengan Sungai Sekanak untuk mengatasi banjir di Palembang? Jelas, tidak cukup.
Sungai Sekanak hanyalah awal. Ada 42 anak sungai yang bermuara ke Sungai Musi yang perlu direstorasi.
Tahun 2021 lalu, Wali Kota Palembang, Harnojoyo, berjanji akan menormalisasikan fungsi 21 anak sungai yang mengalami pendangkalan. Saat ini yang sudah terealisasi adalah restorasi Sungai Bendung, lengkap dengan pompa dan pintu air.
Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Palembang, Ahmad Bastari Yusak, pintu air sangat penting ketika hujan deras atau Sungai Musi lagi pasang.
“Saat Sungai Musi mulai pasang, tutup seluruh pintu air. Ketika hujan deras, gunakan pompa di anak sungai. Seharusnya seperti itu,” jelasnya.
Intinya, Palembang membutuhkan tambahan pintu air dan pompa yang dibangun di seluruh anak sungai. Menurut Ahmad Bastari, jika dibandingkan dengan negara maju lain seperti Belanda, setiap anak sungai sudah memiliki pintu air dan pompa.
Namun sayangnya, Walikota Harnojoyo dan Ahmad Bastari mengakui, untuk membangun pintu air, pompa, dan normalisasi setiap anak sungai belum mampu direalisasikan karena anggaran yang dibutuhkan sangat besar.
Untuk restorasi Sungai Sekanak Lambidaro, Pemkot Palembang mengeluarkan dana hingga Rp398 miliar.
Jika dipukul rata, untuk menormalisasikan fungsi 21 anak sungai, berarti Pemkot Palembang membutuhkan dana kurang lebih sekitar Rp8 Triliun.
Sementara itu, APBD Kota Palembang tahun 2022 ini diproyeksikan Rp3,84 triliun.
Jika tidak ada alokasi anggaran dari pemerintah pusat – dengan anggaran revitalisasi sebesar itu – pertanyaannya, sampai kapan banjir di Palembang dapat teratasi?
Sayangi Lingkungan
Pernyataan Prof. Hariadi Kartodiharjo mengenai akumulasi permasalahan tata ruang yang sudah terlalu lama memang telah terbukti dengan banjir yang terjadi di kota pempek ini. Semakin lamban diatasi, biaya penanggulang akan makin membengkak.
Kesalahan masa lalu, seharusnya dapat diambil pelajaran untuk kita semua, khususnya dalam menjaga lingkungan, seperti tidak membuang sampai sembarangan, khususnya di tempat saluran air.
Pemerintah juga harus tegas dalam memberikan sanksi kepada perusahaan atau pihak-pihak yang tidak mematuhi syarat tata ruang wilayah dalam mendirikan bangunan.
Seringkali ketika banjir terjadi, ketika aktifitas ekonomi lumpuh karena hujan, kita malah menyalahkan hujan, menuduh hujan menjadi pemicu banjir.
Hujan adalah rahmat dan berkah. Adalah bukti kuasa Allah -subhanahu wa ta’ala- dalam menciptakan dan memelihara semua makhluk yang ada di bumi.
Kita yang selalu berbuat kerusakan ini, begitu sulit mencari padanan kata. Membedakan mana yang berkah dan bencana. Semoga Yang Maha Kuasa dapat memaafkan kita. Aamiin. (*)
*Diolah dari berbagai sumber.