Metaverse, Alam Semesta Baru Bakal Dihuni 3 Miliar Lebih Manusia
Oleh: Bangsa Prabu
Metaverse berasal dari kata “meta” berarti luar dan “universe” berarti alam semesta.
Metaverse adalah simulasi atau tiruan dunia secara virtual dalam bentuk 3 Dimensi. Tujuannya adalah mempertemukan manusia dalam satu atap – antara satu sama lain dapat berinteraksi seolah berada di dunia nyata. Diramalkan beberapa tahun ke depan akan menjadi evolusi berikutnya dari sosial media dan internet.
Metaverse saat ini masih dalam tahap embrio. Tiap-tiap developer masih membangun dunia metaverse-nya masing-masing, belum terintregasi. Namun, target ke depan yang diinginkan adalah menjadikan tiap-tiap blok (bangunan) developer saling terhubung, menjadi satu, sehingga terciptalah satu dunia metaverse baru yang utuh.
Jika saat ini orang dapat melakukan meeting (rapat) menggunakan aplikasi Zoom, belajar online melalui video call di Whatshap, -di dunia Metaverse – pembatasan ruang tersebut dipangkas, semua orang dapat berteleportasi dari tempat satu ke tempat lainnya, hanya dalam sekali waktu.
Orang dapat bersosialisasi secara langsung, nonton konser musik, datang ke museum, belajar di sekolah -bertemu teman dan guru- dalam ruang virtual, berbelanja, berolahraga, bermain game, dan sebagainya.
Metaverse adalah istilah yang muncul dalam novel karya Neal Stephenson yang berjudul Snow Crash yang diterbitkan tahun 1992 oleh penerbit Bantam Books. Novel genre fiksi tersebut menceritakan tokoh bernama Hiro Protagonist, berprofesi sebagai pengantar pizza dan peretas (hacker). Dia menjadikan metaverse sebagai pelarian, dan menggunakan avatarnya untuk menjelajahi dunia virtual dengan menggunakan perangkat Virtual Reality (VR).
Investasi Gila-gilaan, Sampai Beli Tanah Tanpa Fisik
Metaverse mulai populer semenjak CEO Facebook Mark Zuckerberg mengumumkan rebranding dari perusahaan media sosial menjadi perusahaan metaverse. Perusahaan media sosial tersebut mengganti namanya dari yang semula Facebook menjadi Meta (teknologi sosial).
Bagi Zuckerberg, masa depan perusahaan digital ada pada metaverse. Facebook menginvestasikan dana sebesar USD50 juta atau sekitar Rp709 triliun untuk mempersiapkan dan meneliti metaverse.
Zuckerberg tidak hanya memiliki platform Facebook, tapi juga WhatsApp, Instagram, dan Oculus (pembuat perangkat VR), sehingga dipercayai memiliki kesempatan besar untuk mewujudkan dunia metaverse.
Belum lagi para penggunanya, diasumsikan lebih dari tiga miliar pengguna Facebook, WA, IG akan menggunakan Meta, dengan syarat perangkat semacam VR/AR dan fasilitas lainnya telah tersedia luas.
Selain Facebook, ada juga Microsoft, Roblox, NvIdia, Amazon, Walt Disney, dan sebagainya yang turut berinvestasi gila-gilaan.
Konsep ini memang masih dalam tahap awal pengembangan dan mencari bentuk, tapi bagi sejumlah perusahaan raksasa dunia, potensi metaverse dinilai sangat besar.
Sebidang tanah (real estate) di dunia metaverse pun menjadi incaran. Iya, tanah tanpa fisik real. Tanah virtual. Dijual dengan harga bombastis. Sebagian orang menganggap investasi ini tidak masuk akal.
Contohnya adalah metaverse Decentraland yang merupakan ruangan atau semesta 3D. Di dalamnya pemain bisa mengolah sejumlah bidang lahan virtual, membuat game, mengadakan acara seperti konser musik dan lainnya.
Belakangan, sebidang tanah di dunia metaverse Decentraland dikabarkan terjual seharga 2,4 juta dolar AS, sekitar Rp34,5 miliar. Ada pula tanah virtual yang terjual di metaverse Sandbox (kompetitornya Decentraland) seharga 4,3 juta dolar AS atau sekitar Rp61,8 miliar.
Menguntung-kah? atau malah bikin jadi buntung?
Sejumlah artis seperti Justin Bieber, Ariana Grande, dan DJ Marshmello dikabarkan telah mengadakan pertunjukan di dunia virtual. Bahkan Paris Hilton menyelenggarakan pesta tahun baru di pulau virtual pribadinya.
Bayangkan, berapa uang yang didapatkan artis-artis tersebut ketika mereka membawa para penggemarnya ke dunia virtual?
Jangan kaget, jika aset digital termasuk properti dan lahan virtual di kemudian hari bisa dijual kembali dengan harga berlipat-lipat.
Diprediksi, konsep metaverse kelak akan menghubungkan aset digital ke aktivitas ekonomi dunia nyata.
Sebut saja contoh sederhananya Ibu Kota Negara Indonesia (IKN) yang baru-baru ini diberi nama Nusantara. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerjasama dengan ahli teknologi Indonesia saat ini sedang membangun IKN dalam bentuk metaverse-nya. Sehingga siapapun dapat melihat konsep bangunan IKN secara virtual. Dibanding sekedar gambar, bentuk metaverse lebih terlihat realistis.
Namun, metaverse IKN yang dibuat Bappenas, hanya sekadar demonstrasi bentuk bangunan, bukan metaverse total (dimana pejabat pemerintahan pusat bisa saling berinteraksi).
Jika metaverse IKN seperti fantasi Zuckerberg, bisa-bisa wujud fisik IKN Nusantara yang menelan biaya Rp466 Triliun itu malah menjadi sunyi seperti Kota Naypyidaw, Ibu Kota Baru Myanmar yang dijuluki “Kota Hantu”.
Mata Uang yang Diharamkan Ulama dan Dicintai Anonymous
Mata Uang di dunia Metaverse adalah Kripto (cryptocurrency). Secara sederhana, kripto adalah mata uang digital yang dapat digunakan untuk transaksi antar pengguna tanpa perlu melewati pihak ketiga atau bank. Tapi dapat dilakukan secara peer to peer (dari pengirim langsung ke penerima).
Setiap orang yang menggunakan mata uang kripto memiliki nomor rekening layaknya nomor rekening bank. Nomor rekening ini dinamakan public key sedangkan kata sandinya bernama stream key. Karena dua hal inilah mata uang kripto memiliki ilmu yang bernama cryptography yang hampir mustahil dihack orang lain.
Dalam sistem cryptocurrency, terdapat sejumlah mata uang, antara lain Ethereum, Litecoin, Ripple, Monero, dan yang paling terkenal adalah Bitcoin.
Uang inilah yang dijadikan alat tukar atau transaksi dalam jual beli komoditas atau aset digital di dunia Metaverse, seperti misalnya Non Fungible Token (NFT). Saat ini, aset NFT lagi booming gara-gara sosok Ghozali Everyday warga Indonesia yang laku menjual foto selfie-nya di marketplace NFT, yaitu OpenSea, dengan keuntungan milliaran rupiah.
Tanpa peran kripto, transaksi uang di dunia virtual akan terdengar sangat lambat dan rumit. Salah satu alasannya karena sistem pembayaran dan pencatatan blockchain yang transparan dan aman dari korupsi. Sistem blockchain dapat dikatakan menyerupai catatan transaksi digital yang terdiri dari banyak server. Berkat teknologi ini, transaksi tidak lagi memerlukan keberadaan perantara.
Menariknya, mata uang kripto masih menjadi kontroversi. Di Indonesia, beberapa ormas Islam bahkan sudah mengeluarkan fatwa haram untuk uang kripto, baik sebagai alat tukar maupun sarana investasi, di antaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU).
“Penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang hukumnya haram, karena mengandung gharar (tidak pasti), dharar (menimbulkan kerusakan, kerugian, penganiayaan) dan bertentangan dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia nomor 17 tahun 2015,” tulis MUI dalam fatwanya.
Meski tidak diakui sebagai mata uang, pemerintah Indonesia mengakui cryptocurrency sebagai aset atau komoditas yang bisa diperdagangkan. Aturan aset kripto itu tertuang di dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Nomor 5 Tahun 2019.
Perlu diwaspadai, penggunaan mata uang kripto juga memungkinan penjahat-penjahat siber, penguasa-penguasa dunia bawah laut internet, Dark Web, untuk ikut serta berinvestasi di dunia metaverse.
Mereka akan keluar dari habitatnya, untuk menyambut dunia metaverse – dunia avatar – dimana setiap orang dapat berganti karakter. Setiap orang dapat menjadi siapapun yang diinginkan, melakukan apa saja dan tidak dikenali.
Kripto adalah mata uang yang dicintai para anonim, karena kepemilikannya tidak memerlukan identitas.
Kepemilikan anonim tersebut, membuat mata uang kripto sering digunakan sebagai metode pencucian uang, transaksi teroris, norkoba, dan berbagai tindakan kriminal lainnya.
Contohnya adalah Bitcoin. Tidak ada yang memiliki jaringan bitcoin, sama seperti tidak ada yang memiliki teknologi pengoperasian email. Bitcoin dikendalikan oleh semua penggunanya di seluruh dunia.
Bitcoin hanya bisa bekerja dengan baik bila ada konsensus penuh di antara semua penggunanya. Dengan demikian, semua pengguna dan pengembang memiliki insentif yang kuat untuk melindungi konsensus ini. Pembayaran bitcoin dikenal lebih mudah dibandingkan dengan kartu kredit maupun debit, dan dapat diterima tanpa akun penjual.
Transaksi dengan bitcoin pun tidak bisa dibatalkan atau ditarik kembali. Jadi sekali pembayaran dilakukan atau bitcoin dialihkan ke alamat berbeda, maka selesai. Tak ada satu pihak pun yang bisa mengembalikan bitcoin kepada pemiliknya. Dua hal ini menjadi kelebihan sekaligus kekurangan bitcoin.
Bitcoin merupakan mata uang kripto pertama. Prinsip mata uang kripto sendiri secara prinsip telah dijelaskan oleh pendiri Bitcoin, Satoshi Nakamoto, dalam satu tulisan yang berjudul ‘Bitcoin: Sistem Uang Elektronik Peer to Peer‘.
Siapakah Satoshi Nakamoto?
Tidak ada yang tahu jati diri sebenarnya Nakamoto. Namanya tenar di tahun 2008 setelah memperkenalkan Bitcoin kepada dunia, dan mulai menghilang di tahun 2010.
Dia adalah seorang anonim. (*)