Apa itu NFT? Yang Bikin Jiwa Miskin Nitizen Bergetar. Padahal Tinggal Screenshot, Selesai!
Oleh: Bangsa Prabu
Awal tahun 2022 ini banyak yang mabuk NFT. Sehingga saking mabuknya, ada yang kesulitan mencerna informasi; mana yang benar, mana yang hoak, mana yang iklan. Bingung.
Ini marketplace OpenSea yang jual NFT itu-kah? atau jangan-jangan Pasar 16? Kok di sana ada yang jualan pempek, tekwan, kemplang.
Atau pempek Ini, karya seni digital yang dibicarakan orang-orang gila itu-kah? Alamaak!
Tambah lagi gara-gara fenomena ‘Ghozali Everyday’, sosok yang sebelumnya tidak punya NPWP – lalu dilirik dan disindir oleh dinas perpajakan – gara-gara menghasilkan cuan miliaran rupiah hanya dengan foto selfie.
Alhasil, warganet +62 jadi latah. Muncul-lah fantasi-fantasi tentang mudahnya mendapat cuan di internet melalui produk digital NFT.
“Iya, Ghozali, cuma jual foto selfie. Foto lagi bangun tidur pula. Jadi millioner. Mau dong, ikutan jualan!”
Braaaak!! Bukan lagi pempek. Kartu Tanda Penduduk (KTP) malah dijual.
Itulah kehebohan warganet +62 yang sedari dulu penuh cerita unik, lucu, dan bikin geleng-geleng kepala.
Kenapa Mahluk NFT itu Harus ada?
NFT adalah kependekan dari Non-Fungible Token, yaitu sertifikat hak kepemilikan suatu produk digital dalam bentuk teknologi token yang “disuntikkan” ke dalam karya (foto, gambar, musik, video, game, dan lain-lain) sebagai identitas.
Setiap NFT memiliki data catatan transaksi di dalam blockchain (buku besar publik/ Distributed Ledger Technology). Data ini berisi tentang siapa penciptanya, harga, dan histori kepemilikannya.
Karya NFT berlaku sebagai item koleksi yang tidak dapat diduplikasikan sehingga menjadikan produk tersebut langka.
Jadi, seseorang yang punya produk NFT akan memiliki sesuatu yang berharga di dunia digital, sama seperti tanah di dunia nyata.
Bagi kalangan seniman, ini informasi yang seharusnya menghangatkan. Bagaimana tidak, soal hak cipta, hal kekayaan intelektual, kalau dibicarakan terlalu dalam, persis seperti makan pare. Pahit, Lur!
Di jagat maya – internet saat ini – serba ada kenikmatan duniawi, sama seperti “surga” yang ada di dunia real. Ada tempat bersosialisasi, berbelanja, mencari jodoh, tempat hiburan dan bermain.
Namun, di antara kenikmatan duniawi itu, ada satu hal yang belum ada, yaitu harta dan kepemilikan pribadi.
Konsep hak kepemilikan pribadi selama ini tidak ditoleh di dunia internet. Bukan lagi soal foto – yang siapapun bisa mengambilnya – apalagi jika sudah muncul di Google Image. Tapi lebih daripada itu.
Contohnya adalah Spotify, layanan streaming musik digital. Perlu diketahui, royalti seorang pemusik di Spotify hanya sebesar USD$0,003 – USD$0,005 per stream.
Wacana ini pernah diperdebatkan di acara SyncSummit New York. Salah satu mantan eksekutif Spotify, Jim Anderson, hadir sebagai narasumber. Ashley Jana, seorang musisi yang hadir pada acara tersebut menanyakan apakah Spotify akan mempertimbangkan untuk mengubah pendapatan royalti mereka dari USD$0,003 menjadi USD$0,01 per putaran lagu.
Namun, alih-alih mendapatkan jawaban bijak, Ashley malah disemprot dengan kata-kata sok merasa berhak (entitled).
Jim mempertegas bahwa Spotify tidak pernah dibuat dengan maksud memberikan musisi uang. Namun Spotify dibuat untuk memberantas pembajakan.
“Mengapa harus lakukan sesuatu yang ilegal jika bisa mendengarkan musik legal dengan murah?”
Itulah prinsip Spotify, dan menjadi alasan mengapa Spotify dan semua digital streaming platform mampu menekan angka pembajakan secara signifikan.
Jim merasa bahwa tujuan Stotify telah tercapai dengan baik. Baginya, pendapatan musisi bukan urusannya. (baca: Criticism of Spotify)
Termasuk juga karya video di Youtube. Pertanyaannya, berapa uang yang Anda dapatkan dari karya video yang anda unggah di Youtube? Jelas, nilainya ditentukan dari jumlah view dan klik. Dan bukan dari harga karya tersebut.
Jangan merasa Anda punya akun Instagram, terus menganggap itu punya Anda. Foto-foto atau video di dalam akun tersebut adalah milik Anda. Tidak ada istilah seperti itu. Yang ada, ketika pihak Instagram tidak setuju, mereka bisa menghapus akun Anda, tanpa perlu izin, apalagi basa-basi permintaan maaf.
Internet bukan seperti flashdisk atau korek api yang bisa digengam, dan disimpan ke dalam saku. Dan dinyatakan sebagai “Ini punya saya”, “Menyentuh sama dengan beli!” Tidak ada istilah seperti itu.
Nah, hadirnya NFT diharapkan akan memecahkan persoalan tersebut.
Contohnya, lukisan NFT, ketika pelukis (kreator) menjual lukisan tersebut dan laku, berarti hanya ada satu pemilik dari lukisan asli, yaitu kolektor. Namun, pelukis tersebut, memiliki hak kekayaan intelektual yang diizinkan untuk membuat salinan, cetakan, atau karya turunan dari lukisannya.
Saat pembeli (kolektor) ingin menjual kembali produk lukisan NFT itu, dan terjadi pembelian kedua-ketiga-keempat-dan seterusnya, pelukis tetap akan mendapatkan royalti.
Royalti dalam NFT tersebut tercatat secara otomatis di dalam blockchain dengan smart contract, yaitu perjanjian antara dua orang dalam bentuk kode komputer.
NFT akhirnya menjadi aset digital. Dan investasi berharga bagi kolektor. Sementara kreator akan mendapatkan passive income hanya dengan satu karya.
NFT secara tidak langsung, menghapus sistem ‘beli-putus’ yang umum dilakukan di pasar konvensional.
Utopia dan ke-Songong-an Dunia Metaverse
Teknologi NFT masih baru dan masih dalam proses mencari bentuk. Karya seni dan koleksi yang dijual di marketplace semacam Opensea saat ini baru awal dari suatu evolusi teknologi yang lebih besar.
Beberapa tahun ke depan, sulit diprediksi seperti apa NFT yang bakal dijual. Jangan-jangan hotel, kolam renang dan semua barang fisik lainnya akan di-NFT-kan oleh pemiliknya. Tidak ada yang tahu.
Namun arah teknologi dunia, sadar atau tidak sadar, mulai dibentuk ke arah metaverse. Metaverse adalah dunia virtual yang semua isi di dalamnya adalah NFT. (Baca: Metaverse, Alam Semesta Baru Bakal Dihuni 3 Miliar Lebih Manusia).
Jika Anda berkiblat ke fenomena Ghozali Everyday, perlu diingatkan, bahwa itu hanya sekadar lucu-lucuan. NFT Ghozali mendapatkan moment yang tepat, di saat NFT dan metaverse masih dalam proses promosi. Artinya, ada orang di belakang layar yang mengangkat nama Ghozali.
Ghozali ketiban durian runtuh, karena NFT nya yang unik, 5 tahun setiap hari foto selfie dengan wajah yang sama. (Baca: Alasan Chef Arnold Poernomo Beli NFT Selfie Ghozali Everyday)
Jangan salah kaprah tentang NFT!
NFT dan marketplace-nya bukanlah galeri seni, atau panggung teater terbuka. Dimana setiap orang bisa menikmati karya seni. Pendapat tersebut keliru.
Sekali lagi, NFT adalah token identitas hak kepemilikan.
NFT bisa dihargai mahal oleh sejumlah kolektor sebagai investasi karena diyakini harganya bakal naik di kemudian hari. Merupakan salah satu bentuk investasi cryptocurrency yang dikenal dengan resiko dan keuntungan yang tinggi.
NFT saat ini belum berfungsi sebagaimana dibayangkan sejumlah orang, seperti utopia. Soal kekayaan intelektual dan royalti tidak ada di dunia internet yang kita kenal saat ini, secara umum.
Siapapun boleh mengambil foto Ghozali di marketplace OpenSea, tidak ada yang melarang. Mau secreenshot gambar monyet koleksi NFT “Bored Ape Yacht Club” yang harganya milliaran itu, dan dijadikan foto profil, silahkan.
Kalaupun ada, peraturan dan royalti soal NFT, baru merambah di dunia game virtual. Dikabarkan Twitter, ke depan mulai membuat aturan soal foto profil NFT, sehingga tidak bisa dipakai sembarangan, kecuali pemiliknya.
Jika ditelesik lebih dalam, NFT sebenarnya lebih berat hubungannya dengan dunia metaverse. Di alam virtual tersebut, ada suatu masa di mana manusia akan bicara soal style dan identitas. Sebagaimana “sultan” yang memamerkan kekayaan dengan barang-barang branded limited edition.
NFT adalah simbol dari masa depan pasar yang semakin modern dan rumit. NFT adalah bentuk kesongongan. (*)