EkonomiOpini

Ketahanan Pangan: Indonesia Perlu Belajar Dengan Rusia (Bagian III)

Oleh: Pudiyaka

“Komoditi kearifan lokal kita, kalau diberi kesempatan, dipacu, dikembangkan industrinya, difasilitasi pasarnya dan diperlakukan seperti nasibnya gandum, maka sangat meyakinkan komoditi pangan kearifan lokal akan dapat menggeser peran gandum di Indonesia.”

Belum lama ini Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subiyanto, ketika menjadi narasumber dalam acara Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia di Nusa Dua Bali (2/7/2022) mengungkapkan bahwa untuk mewujudkan negara menjadi kuat, ada 5 syarat yang harus dipenuhi yaitu swasembada pangan, energi dan air, memperkuat lembaga-lembaga pemerintahan dan ASN kita dan harus memiliki angkatan perang yang unggul.

Menteri Pertahanan RI menegaskan, dari belajar pengalaman dalam perang Ukraina-Rusia, kita tidak boleh bergantung pangan dari luar, swasembada pangan hal yang utama dan kita juga tidak boleh tergantung impor energi lagi dari luar.

Begitu juga masalah swasembada air, kita harus membuat perkiraan swasembada air, jangan anggap enteng masalah air. Siapa yang bisa menciptakan teknologi air bersih, dia nanti yang dapat membuat negara menjadi makmur dan aman, tegas Prabowo.
Apabila melihat kondisi Indonesia saat ini, mengalami ketergantungan bahan pangan import yang cukup merisaukan. Impor biji gandum & meslin pada tahun 2020 diketahui (10,3 juta ton) Indonesia menjadi pengimpor terbesar di dunia, gula mentah kristal (5,3 juta ton), kedelai (2,5 juta ton), daging (529.014 ton) dan susu.

Dari 5 komoditi yang terbanyak diimpor tersebut. Gula (tebu), kedelai dan daging (sapi) masih terus diusahakan untuk dapat mencapai tingkat swasembada, meski faktanya masih jauh untuk bisa mencapainya. Secara teknis agronomi tebu (bahan baku gula), dan kedelai bisa dikembangkan di Indonesia. Begitu juga peternakan sapi (bahan baku daging) secara teknis dapat dikembangkan dengan baik di Indonesia.

Kendala utama dalam upaya swasembada gula, kedelai dan daging lebih pada masalah manajemen usaha dan ukuran skala usaha yang relatif kecil, sehingga nilai usahanya tidak efisien dan tidak dapat bersaing secara global, yang menimbulkan kebijakan jalan pintas dengan melakukan impor yang harganya lebih murah.

Baca Juga:   Lebaran Telah Lewat, Harga Bawang Merah di Palembang Masih Melambung

Sedangkan permasalahan utama pada impor gandum, yang jumlahnya sangat besar dan semakin tahun terus meningkat, nampaknya sangat sulit untuk bisa dicapai swasembada gandum di Indonesia yang beriklim tropis, karena secara agronomis hingga saat ini belum ditemukan varietas gandum yang dapat memungkinkan untuk bisa mencapai tingkat swasembada.

Namun banyak alternatif yang dapat diperoleh di bumi nusantara ini, untuk menggantikan peran komoditi gandum, seperti untuk tepung, mie, kue, roti, dan bentuk lainnya. Kalau kita lihat di Rusia produktivitas gandum per tahun berkisar 6 ton/ha. Sedangkan alternatif pangan kearifan lokal yang bisa menggantikan gandum, tingkat produktivitasnya sangat tinggi, namun sayangnya komoditi kearifan lokal yang ada di bumi nusantara ini cenderung disepelekan. Komoditi lokal kita, kalau diberi kesempatan, dipacu, dikembangkan industrinya, difasilitasi pasarnya dan diperlakukan seperti nasibnya gandum, maka sangat meyakinkan komoditi pangan kearifan lokal akan dapat menggeser peran gandum di Indonesia.

Komoditi lokal yang sangat potensial misalnya singkong bisa dibuat tepung mocaf, produktivitas per tahun dapat mencapai 19 ton/ha, ubi jalar produktivitas per tahun dapat mencapai 30 ton/ha, Sorgum juga sangat potensial berkembang di daerah relatif kering seperti NTT, produktivitas per tahun mencapai 7 ton/ha. Tanaman sagu juga sudah sangat dikenal di masa orde lama, produktivitas per tahun bisa mencapai 18 ton/ha. Satu pohon sagu beratnya sekitar 1.500 kg, dengan kadar sagu 29,38 persen, jadi produktivitas sagu berkisar 450 kg per pohon.

Bahkan dengan melihat kondisi krisis pangan dunia saat ini, di Indonesia sekarang sedang gempar pengembangan talas beneng dengan produktivitas per tahun mencapai 50 ton/ha, apalagi daunnya juga laku dan diekspor jadi tembakau.

Masih banyak lagi komoditi kearifan lokal yang lain, yang dapat menggantikan peran gandum seperti pisang, uwi, suweg, garut, ganyong, sukun, dan labu.

Komoditi pangan alternatif tersebut akan dapat mudah dicapai oleh Indonesia apabila komoditi pangan kearifan lokal tersebut diperlakukan yang sama dengan komoditi gandum. Gandum itu juga tidak enak kalau bumbunya hanya garam, tidak jauh rasanya seperti singkong, ubi jalar, talas yang seringkali dimasak hanya dengan bumbu garam saja. Makanan dari gandum itu, bisa enak karena diolah dengan teknologi tinggi, dicampur dengan gula, mentega, susu, coklat, keju, daging, telor dan lain sebagainya sehingga rasanya nikmat, membuat masyarakat Indonesia menjadi kecanduan sampai-sampai lupa, sehingga produk lokal menjadi komoditi yang cenderung inferior.

Baca Juga:   Aneh Indonesia Sebagai Produsen Alami Krisis Energi

Revolusi impor gandum dimulai pada tahun 1969 ketika Amerika Serikat memperkenalkan paket kerjasama ekonomi dibawah Hukum Publik 480 (PL 480). Kebijakan itu berisi perpanjangan kerjasama bantuan makanan kemanusiaan dalam bentuk tepung atau gandum ke Indonesia.

Paket bantuan dari Amerika Serikat tersebut berhenti tidak lama setelahnya. Namun sialnya, masyarakat Indonesia sudah terlanjur kecanduan gandum.

Keterlibatan industri pengolahan gandum akhirnya memiliki peran yang signifikan, karena dengan peran industrinya gandum dapat diolah menjadi berbagai makanan seperti mie instan, roti, kue, dan pasta atau dikombinasikan dengan bahan pangan lain, sehingga pasar dan distribusinya menjadi sangat luas.

Perusahaan penggilingan gandum didirikan pada Mei 1969, yang diberi nama PT. Bogasari Flour Mill. Mulanya kapasitas produksinya hanya 650 ton per hari, lalu pada tahun 1990-an mencapai 9.500 ton per hari. Mesin gilingnya didatangkan dari Jerman, sementara gandumnya didatangkan dari Australia.

Dalam anggaran dasar Bogasari tahun 1970, seperti dicatat Richard Robinson dalam Indonesia: The Rise of Capital (2009:323), disebutkan bahwa 26 persen keuntungan Bogasari diserahkan kepada Yayasan Harapan Kita (dipimpin oleh Nyonya Siti Hartinah Soeharto) dan Yayasan Dharma Putra (milik Kostrad yang pernah dipimpin Soeharto).

Ketika baru didirikan, Bogasari mendapat pinjaman dana dari bank sebesar Rp 2,8 milyar. Bogasari sebagai pabrik penggilingan gandum, dan Bulog bertindak sebagai impor gandum dan distributor tepung terigu. Produk yang diluncurkan Bogasari saat itu ada 3 merk yaitu, Cakra Kembar, Segitiga Biru, dan Kunci Biru yang masih eksis hingga saat ini. (*)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button