Editor: Pudiyaka
JITOE – Salat Idul Adha 1443H menjadi momen yang sangat baik terutama bagi bangsa Indonesia, dimana sudah lebih dari 2 tahun terakhir, suasana seperti saat ini tidak dapat kita nikmati. Kini Alhamdulillah sangat sempurna merasakan nikmat iman, kesehatan dan aman yang dapat dirasakan di seluruh penjuru Nusantara.
Atas nikmat tersebut kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seperti yang disampaikan pada khotbah salat Idul Adha 1443H di Masjid Istiqlal Jakarta (10/7/2022), oleh Ketua Badan Wakaf Indonesia Pusat, Prof.Dr.Ir. K.H.Mohammad Nuh, DEA, yang mengatakan bahwa bersyukur itu bukan hanya atas pemberian nikmat yang kita terima, tetapi kita juga harus bersyukur karena dihilangkan dan dihindarkan dari suatu musibah. Tidak semua orang bisa bersyukur, tandas Mohammad Nuh.
Lebih lanjut menuturkan, salah satu nikmat dari Allah itu sifatnya terus menerus. Sekali saja nikmat itu terputus, itu sifatnya hanya untuk mengingatkan kita bahwa selama ini, kita sudah menerima nikmat itu.
Lalu Mohammad Nuh mengajak, “Mari kita bersama bersyukur kepada Allah. Biasanya nikmat itu dirasakan ketika nikmat itu tercabut dari kita”. Orang itu tidak mengetahui nikmat ketika memperolehnya, dan baru mengetahui ketika sudah lepas dari dirinya. Mari kita sama-sama belajar untuk bersyukur dan belajar berterima kasih kepada siapapun yang pernah berbuat baik, berbuat baik kepada diri kita, kepada bangsa dan negara, tuturnya.
Orang yang memberikan kebaikan dan kemanfaatan kepada orang lain, itulah orang yang terbaik. Logika sebaliknya, sehina-hina orang adalah orang yang paling banyak memberikan penderitaan kepada orang lain, tegas Mohammad Nuh.
Kemudian berkaitan dengan berlangsungnya ibadah haji, dikatakan ibadah haji itu ibadah yang sangat penuh pergerakan hidup sifatnya sangat dinamis. Itulah perjalanan hidup, selalu bergerak dalam dimensi ruang dan waktu yang semua pergerakannya akan berujung kepada Allah. Pergerakan dilakukan bukan sendirian, tetapi setiap orang melakukannya, sehingga terjadi pergumulan dan interaksi fisik antar jamaah. Disana antara saling membantu dan egosentris seringkali berbenturan dalam ibadah haji. Itulah realitas kehidupan antara ingin membantu dan kepentingan diri sendiri, tuturnya.
Sangat berbeda dengan kolaborasi, untuk menjadi yang terbaik tidak harus mengalahkan yang lain, tetapi bisa menang bersama-sama, sukses bersama-sama. Itulah esensi kolaborasi.
Sedangkan kekuatan hanya bisa dibangun melalui mutualitas positif. Ada mutualitas negatif yaitu kekuatan yang saling merusak dan saling menjatuhkan. Mutualitas positif hanya bisa dibangun melalui kedekatan, bukan kerenggangan, inklusif bukan eksklusif.
Orang yang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dekat dicintai Allah. Sedangkan perilaku cemoohan kepada orang lain itu berakibat pada dirinya sendiri. Lalu Mohammad Nuh mengutip sebuah Hadist dengan terjemahannya, apakah seseorang itu bisa mencaci maki kepada kedua orang tuanya. Lalu jawaban Rusulullah, kalau seseorang itu mencela orang lain, maka orang itu akan mencela orang tuanya sendiri. Hindari perilaku saling mencela, mencibir dan seterusnya, ungkapnya.
Mengapa harus kita, bukan saya. Semangat kekitaan bangsa Indonesia, yaitu semangat gotong royong yang telah dirintis sejak dulu kala, bukan diperoleh begitu saja, tetapi semangat gotong royong yang terus diperjuangkan. Diawali dengan titik persamaan, menjadi bidang persamaan dan berikutnya menjadi ruang persamaan. Itulah, lahirnya NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan prinsip Bhineka Tunggal Ika, tidak lain hasil semangat persamaan dan kekitaan. Bukan semangat perbedaan dan keakuan. Tugas kita adalah menciptakan sebanyak-banyaknya ruang persamaan dan merawatnya dengan baik, tutur Mohammad Nuh.
Mohammad Nuh menyebutkan dalam ilmu Tauhid kita dikenalkan dengan dalil Aqli, sebagai instrumen mencari kebenaran yang berbasis akal sehat, yang membangun tradisi berfikir sebagai syarat terbentuknya masyarakat yang berbasis pengetahuan dalam kondisi normal, dimana kita tidak ada interes tertentu, dalil Aqli sifatnya adalah lazim berdasarkan ilmu pengetahuan. Namun sebaliknya apabila kita melaksanakan dalil akhli itu ada yang kita kemukakan bertabrakan dengan kelaziman. Maka kita harus mendasarkan dalil yang bersumber langsung dari wahyu Allah (Al Qur’an & hadist) yang disebut dalil Naqli, mengingat karena ada keterbatasan akal manusia, maka akal harus tunduk kepada dalil Naqli secara total. Ketertundukan itu bukan berarti hilangnya rasionalitas menjadi irasionalitas. Tetapi dibalik itu ada transrasionalitas, dimana akal kita belum mampu menjawab rasionalitasnya.
Roh manusia itu diciptakan secara abadi, yaitu mulai dalam alam roh, berkembang dialam rahim, kemudian didunia, berlanjut di alam kubur/alam baryah, berikutnya memasuki kealam pembalasan surga/neraka. Itulah proses perjalanan kehidupan. Yang penting adalah apa yang harus kita persiapkan supaya perjalanan hidup dapat berjalan dengan baik, tegas Mohammad Nuh.
Lalu Mohammad Nuh mengutip data statistik yang menyebutkan bahwa usia harapan hidup orang Indonesia itu 72,4 tahun. Kemudian mengilustrasikan, sehingga bagi kita yang berusia sudah 60-an tahun sisa hidup kita tinggal 15 persen, yang 85 persen sudah kita pakai. Oleh karena itu, ada saatnya yang paling tepat kita melakukan evaluasi. Modal yang diberikan kekita sungguh amat banyak jumlahnya, tetapi amal kebajikan kita sangat terbatas. Tidak ada cara lain, pertama kita harus memohon ampun kepada Allah, mohon welas asih dan memanfaatkan sisa kehidupan untuk mengerjakan kebaikan, karena kita pasti berjumpa dengan Allah. Barang siapa yang mentradisikan, dengan tradisi kebaikan maka Allah akan memberikan pahala. Karena melakukan kebaikan itu, maka Allah akan memberikan pahala-pahala tambahan, karena kebaikan itu diikuti generasi berikutnya, ungkapnya. (*)