Buntut Insiden Pipa Bocor di Prabumulih, Pertamina Terancam UU Lingkungan Hidup
JITOE.com, Prabumulih – Insiden kebocoran pipa Pertamina di Prabumulih kembali menuai sorotan.
Kali ini lokasi kebocoran hingga mencemari lingkungan dan pemukiman warga terjadi di Kelurahan Majasari, Kecamatan Prabumulih Selatan, Kota Prabumulih, pada Minggu pagi (09/07/2023) sekitar pukul 10.00.
Ketua Kawali Sumsel Chandra Anugerah menyebut, meski tumpahan minyak sudah dibersihkan namun masih bersisa tumpahan minyak yang melekat ke akar dan rerumputan yang berada di sepanjang aliran Sungai Kelekar. Mulai dari sumbernya yang berada di Kelurahan Majasari hingga beberapa kilometer di Kelurahan Muara Dua, Gunung Ibul hingga Desa Pangkul.
“Di sempadan masih terlihat bekas minyak, di beberapa titik Sungai Kelekar yang kita lihat juga masih terlihat sedikit, beruntung pembersihan terbantu dengan turunnya hujan di sini,” kata Chandra yang turun langsung bersama timnya ke lokasi kebocoran (10/07/2023).
Dia juga melihat bagaimana warga yang harus berjuang menghadapi pencemaran lingkungan, serta bau yang menyengat.
Oleh sebab itu, menurut Chandra, Pertamina harus menunjukkan tanggung jawab lebih dari sekadar melakukan pembersihan. Utamanya berkaitan dengan ekosistem lingkungan dan dampak yang dirasakan oleh warga.
Apa yang terjadi saat ini menurutnya bisa membuat Pertamina terancam UU Lingkungan Hidup karena dianggap abai terhadap permasalahan lingkungan.
“Hal ini harus dilihat dalam logika sebab akibat,” tegas Chandra.
Salah satunya, kebocoran disebabkan oleh pipa yang usang, tidak ada pemeriksaan jalur pipa yang komprehensif sehingga menurutnya lingkungan dan warga yang harus menjadi korban.
“Ini adalah keteledoran perusahaan (Pertamina Hulu Rokan (PHR) Zona 4 Prabumulih Field) dalam menjaga asetnya. Kejadian ini seharusnya tidak perlu terjadi apabila ada ketelitian dalam menjaga kondisi pipa yang kami duga jadi sebabnya,” ungkap Chandra.
Selain membersihkan sungai, Pertamina juga diminta untuk memberikan ganti rugi yang layak kepada warga di sepanjang aliran Sungai Kelekar atas dampak kerusakan lingkungan yang terjadi.
Sungai Kelekar sendiri masih menjadi sumber kehidupan warga. Beberapa warga yang tinggal di pinggir Sungai Kelekar memanfaatkan sungai tersebut untuk mencari ikan, memberi minum ternak, mengairi kebun dan mencuci pakaian.
“Tadi saja, kami masih menemukan warga yang menjala ikan. Sementara, akibat kejadian ini banyak ikan mati dan ekosistem di sungai yang rusak. Tentunya ini merugikan warga yang menggantungkan kehidupannya terhadap Sungai Kelekar,” ucapnya.
Dia menyebut, perbuatan korporasi diduga telah melanggar UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal 99 ayat 1 disebutkan, setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
“Kami sudah mengambil sampel air dan beberapa keterangan dari warga. Apabila tidak ada tindak lanjut, kami akan segera laporkan insiden ini sebagai kejahatan terhadap lingkungan,” terangnya.
Ada enam kelurahan dan satu desa yang menjadi wilayah terdampak, yaitu Kelurahan Majasari, Karang Raja, Tugu Kecil, Muara Dua, Gunung Ibul, Sindur dan Desa Pangkul.(*)