Oleh: Ustadz Dr. Bukhori Mukhtar, MA
QOLB (hati) merupakan salah satu karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sifat dan fungsinya luar biasa besar dalam kehidupan manusia. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekepal daging, kalau itu baik, baiklah seluruh tubuh, kalau itu rusak, rusaklah seluruh tubuh, itulah qalb” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, Allah pada hari kiamat tidak akan melihat rupa dan fisik kita, tetapi yang dilihat dan dinilai oleh-Nya adalah hati dan amal perbuatan kita.
Kata qalb (hati) dalam al-Quran disebutkan sebanyak 19 kali dalam 14 surat, dan 19 ayat 4 , dan itu semua memiliki kandungan makna dan konteks yang berbeda-beda, diantaranya hati berpenyakit dalam surat al-Baqarah ayat 10. Dalam Tafsir Jalalain makna hati berpenyakit adalah penyakit keragua-raguan dan kemunafikan yang menyebabkan sakit atau lemahnya hati. Ibnu Katsir juga berpendapat demikian. Namun ada juga pendapat yang mengatakan penyakit itu adalah riya’ dan kekejian.
Untuk menjaga hati ada beberapa amalan yang Rasulullah sampaikan kepada kita seperti hadis di bawah ini :
عَنْ أَبِي مَالِكٍ الحَارِثِ بْنِ عَاصِمٍ الأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:) الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيْمَانِ، وَالحَمْدُ للهِ تَمْلأُ المِيْزَانَ، وَسُبْحَانَ اللهِ والحَمْدُ للهِ تَمْلآنِ – أَو تَمْلأُ – مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ، وَالصَّلاةُ نُورٌ، والصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَو مُوْبِقُهَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abu Malik Al-Harits bin ‘Ashim Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bersuci itu sebagian dari iman, ucapan alhamdulillah (segala puji bagi Allah) itu memenuhi timbangan. Ucapan subhanallah (Mahasuci Allah) dan alhamdulillah (segala puji bagi Allah), keduanya memenuhi antara langit dan bumi. Shalat adalah cahaya, sedekah adalah bukti nyata, kesabaran adalah sinar, Al-Qur’an adalah hujjah yang membelamu atau hujjah yang menuntutmu. Setiap manusia berbuat, seakan-akan ia menjual dirinya, ada yang memerdekakan dirinya sendiri, ada juga yang membinasakan dirinya sendiri.’” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 223]
Dari Hadis di atas setidak tidaknya dijelaskan beberapa amalan penerang hati, diantaranya sebagai berikut :
- Bersuci
Bersuci (bahasa Arab: الطهارة, al-ṭahārah) merupakan bagian dari prosesi ibadah umat Islam yang bermakna menyucikan diri yang mencakup secara lahir atau batin. Kedudukan bersuci dalam hukum Islam termasuk ilmu dan amalan yang penting, terutama karena di antara syarat-syarat salat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan mengerjakan shalat diwajibkan suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian, dan tempatnya dari najis. Bersuci yang dimaksudkan adalah meninggalkan kesyirikan, dosa, dan maksiat serta berlepas diri darinya. Bisa pula diartikan bersuci di sini dengan wudhu untuk shalat karena wudhu adalah syarat sah shalat. Sedangkan penyebutan iman kadang dimaksudkan untuk shalat seperti dalam ayat,
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Ath-thuhur artinya perbuatan untuk bersuci, sedangkan ath-thohur artinya air yang digunakan untuk bersuci. Sama seperti kata al-wudhu artinya perbuatan berwudhu, sedangkan al-wadhu artinya air yang digunakan untuk berwudhu.
- Berzikir
Dzikir berasal dari kata dzakara, yadzukuru atau dzukr/dzikr yang memiiliki arti perbuatan dengan lisan (menyebut, menuturkan, mengatakan) dan dengan hati (mengingat dan menyebut). Kemudian ada yang berpendapat bahwa dzukr (bidlammi) saja, yang dapat diartikan pekerjaan hati dan lisan, sedang dzkir (bilkasri) dapat diartikan khusus pekerjaan lisan.
Bacaan alhamdulillah adalah bagian dari Dzikir yang memenuhi timbangan. Sedangkan bacaan subhanallah dan alhamdulillah memenuhi langit dan bumi, bisa jadi dengan dua bacaan tersebut bersama-sama atau salah satunya.
Dalam hadits Abu Malik al-Asy’ary di atas juga terkandung keistimewaan kalimat Tahmiid “Alhamdulillaah”. Ibnu Daqiiqil I’id berkata: “Alhamdulillaah memenuhi miizan (timbangan) maksudnya; besarnya pahala orang-orang yang ber-tahmid sampai-sampai memenuhi timbangan amal kebaikan kelak di akhirat.” [Syarh al-Arba’iin hal. 258]
Imam Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan dalam Syarh al-Arba’iin (hal. 260): “ Alhdamdulillaah adalah; mensifatkan Allah dengan segala sifat terpuji dan sempurna baik itu pada Dzat-Nya ataupun pada Sifat dan Perbuatan-Nya.” (Ketika ber-tahmid mengucapkan “Alhamdulillaah”, seseorang harus meyakini makna ini), maka pahala bagi yang mengucapkannya akan memenuhi timbangan amal.
Sedangkan kalimat “Subhaanalaahi wal Hamdulillaah” memiliki keutamaan yang memenuhi apa yang berada di antara langit dan bumi. Kalimat ini menggabungkan antara Tashbiih (penyucian) dan Tahmiid.
Kalimat Tashbiih mengandung makna Tanziih, yaitu mensucikan Allah dari segala sifat kurang dan tidak sempurna. Mengenai keagungan makna yang terkandung dalam kalimat Tashbiih dan Tahmiid ini, Rasulullah bersabda (yang artinya):
“Dua kalimat yang dicintai ar-Rahmaan, dua kalimat yang ringan di lisan namun berat di timbangan (yaitu); Subhaanallaahi wa Bihamdihi, Subhaanallaahil ‘Azhiim.” [Muttafaq ‘Alaihi. Bukhari: Tasbih berarti menyucikan Allah dari berbagai kekurangan. Sedangkan tahmid adalah menyifatkan Allah dengan berbagai sifat kesempurnaan.
- Shalat adalah cahaya, yaitu cahaya pada hati dan cahaya pada wajah. Cahaya ini adalah hidayah dan juga akan menjadi cahaya pada hari kiamat. Rasulullah menyebut sholat sebagai Nuur (cahaya), maksudnya adalah cahaya di hati seorang mukmin. Apabila hati bercahaya, maka wajah pun akan bercahaya. Sedangkan di akhirat kelak di saat yang gelap, sholat seorang mukmin benar-benar menjadi cahaya hakiki yang memancar di sekelilingnya memberikan penerangan, sebagaimana Allah berfirman (artinya): “(Yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka…” [QS. al-Hadiid: 12]. Ibnu Daqiiqil I’id menerangkan bahwa sholat disebut cahaya karena ia mampu mencegah seseorang dari kemaksiatan, dari kefasikan dan kemungkaran, dan juga memberikan petunjuk kepada jalan kebenaran, sebagaimana cahaya yang sesungguhnya digunakan sebagai pemberi petunjuk dan penerangan. Termasuk dalam cakupan makna Nuur (cahaya) di sini adalah ilmu agama. Karena Allah juga menyebut Rasulullah dan al-Qur-an sebagai sumber ilmu agama dengan kata “Nuur” dalam QS al-Maa-idah: 15.
- Sedekah adalah bukti benarnya iman seseorang karena biasanya jiwa bersifat pelit dengan harta. Sifat orang munafik biasa beramal atas dasar riya’. Ia sulit bersedekah karena pelitnya pada harta. “As-Shodaqotu Burhaanun” maksudnya; sedekah adalah bukti kejujuran iman seseorang. Sedekah membedakan iman seorang mukmin sejati dengan iman yang dicemari oleh sifat munafiq. Karena orang-orang munafiq sangat pelit dalam bersedekah.
al-Imam Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Sedekah adalah bukti kejujuran cinta ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, karena tabiat jiwa sangat mencintai harta, dan tidaklah seseorang rela mengorbankan sesuatu yang ia cintai melainkan untuk meraih sesuatu yang lebih ia cintai (dari harta tersebut, yaitu Allah). Maka ini burhan (bukti) akan kejujuran imannya serta kekuatan yakinnya kepada Allah.” [Syarh al-Arba’iin hal. 260]
- Sabar sendiri mencakup tiga hal, yaitu sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar dalam menghadapi takdir yang menyakitkan. Orang bisa bersabar menandakan akan kuatnya iman dan pandangannya yang bagus (bercahaya), sehingga disebutlah sabar itu dhiya’ (cahaya). Sabar disifatkan oleh Rasulullah sebagai dhiya’. Dhiya’ adalah nuur (cahaya) yang sangat terang benderang dan panas. Dalam al-Qur-an, Allah mensifatkan cahaya bulan dengan kata nuur sementara cahaya matahari disifatkan dengan kata dhiya’, karena selain cahayanya sangat terang, cahaya matahari juga terik dan panas menyengat: “Dialah (Allah) yang menjadikan matahari (dhiya’) bersinar dan bulan (nuur) bercahaya…” [QS. Yunus: 5]
Demikianlah sabar, sangat panas dan menyusahkan bagi jiwa, namun kebesaran cahaya bagi orang-orang yang sabar sungguh tiada tara layaknya sinar matahari. Sabar menurut definisi para ulama adalah: menahan hati dan anggota badan untuk tetap dalam ketaatan, menahannya dari maksiat, dan menahannya untuk selalu ridho atau bersyukur atas ketentuan taqdir Allah, baik taqdir itu pahit ataupun manis.
Kelak di akhirat, manusia akan menemui saat-saat yang gelap dan sulit. Manusia sangat-sangat membutuhkan cahaya yang bersumber dari sholatnya, sedekahnya dan kesabarannya, melebihi kebutuhannya terhadap apapun juga.
- Al-Qur’an itu bisa jadi pendukung kita atau akan menuntut kita. Al-Qur’an bisa menjadi pendukung jika kita membenarkan, menjalankan perintah, dan menjauhi larangan yang ada di dalamnya, serta membacanya dengan benar. Sebaliknya Al-Qur’an akan menuntut kita ketika kita berpaling darinya dan tidak menjalankan sebagaimana yang dituntut. Kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut.
، أنَّ نَافِعَ بنَ عبدِ الحَارِثِ، لَقِيَ عُمَرَ بعُسْفَانَ، وَكانَ عُمَرُ يَسْتَعْمِلُهُ علَى مَكَّةَ، فَقالَ: مَنِ اسْتَعْمَلْتَ علَى أَهْلِ الوَادِي، فَقالَ ابْنَ أَبْزَى، قالَ: وَمَنِ ابنُ أَبْزَى؟ قالَ: مَوْلًى مِن مَوَالِينَا، قالَ: فَاسْتَخْلَفْتَ عليهم مَوْلًى؟ قالَ: إنَّه قَارِئٌ لِكِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وإنَّه عَالِمٌ بالفَرَائِضِ، قالَ عُمَرُ: أَما إنَّ نَبِيَّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ قدْ قالَ: إنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بهذا الكِتَابِ أَقْوَامًا، وَيَضَعُ به آخَرِينَ.
Nafi’ bin ‘Abdul Harits pernah bertemu ‘Umar di ‘Usfan dan ketika itu ‘Umar menugaskan Nafi’ untuk mengurus kota Makkah.
Umar pun bertanya, “Kalau begitu siapa yang mengurus penduduk Al-Wadi?”
“Ibnu Abza”, jawab Nafi’.
Umar balik bertanya, “Siapa Ibnu Abza”.
Ketika itu dijawab, “Dia adalah di antara bekas budak kami.”
Umar terheran dan berkata, “Kenapa bisa yang engkau tugaskan adalah bekas budak?”
Nafi’ menjawab, “Ia itu paham Al Qur’an dan memahami ilmu faraidh (waris).”
Umar berkata, “Sesungguhnya nabi kalian itu bersabda, “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat seseorang dengan kitab ini (Al-Qur’an) dan merendahkan yang lain dengan kitab ini.” (HR. Muslim, no. 817)
Maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Setiap manusia berbuat, seakan-akan ia menjual dirinya, ada yang memerdekakan dirinya sendiri, ada juga yang membinasakan dirinya sendiri, manusia terbagi menjadi dua. Pertama, manusia yang menjual dirinya pada Allah dengan melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat, maka ia bebas dari neraka dan selamat dari godaan setan. Kedua, manusia yang menjatuhkan dirinya dalam maksiat dan dosa, ia terjatuh dalam syahwat yang terlarang, itulah yang mengantarkan ia pada neraka. Wallahul muwaffiq. Semoga Allah memberi taufik. [*]
Ilustrasi Foto : @Pixabay.com