Religi

Kebajikan dan Dosa

Oleh: Dr. Bukhori Mukhtar, MA

Kebaikan itu adalah budi pekerti yang baik, kebaikan itu tentu terkait dengan prilaku seseorang yang berakhlak baik, menolong sesama dengan penuh kesadaran, siapapun orang yang melakukan kebaikan tentu dalam hati dan jiwanya akan dipenuhi dengan rasa ketenangan.

Dalam hadits ini, Rasulullah menafsirkan al-birr dengan akhlak yang baik. Berbicara tentang akhlak adalah sebuah perkara yang agung dan bernilai. Rasulullah saw diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. Dalam semua aturan syariat, pasti ada akhlaknya.

Akhlak adalah cermin iman. Semakin tinggi iman seseorang, semakin tinggi pula akhlaknya. Semakin tinggi kualitas iman seseorang, maka semakin baik pula perangainya, semakin baik sifatnya dan semakin mulia jiwanya. Selanjutnya, sabda nabi saw ini pula menegaskan kepada kita bahwa tanda-tanda perbuatan dosa itu ada dua, yaitu tanda yang bersifat internal dan eksternal. Internal yakni adanya perasaan yang mengganggu jiwa, membuatnya gelisah, dan tidak tenang. Karena itu, hati manusia dapat dijadikan parameter bila ia hendak berbuat sesuatu. Bila jiwanya merasa tenang, maka lakukanlah. Sebaliknya, bila merasa akan gelisah dan tidak tenang, maka tinggalkanlah perbuatan tersebut. Yang kedua adalah eksternal, yakni pelaku dosa pada umunya tidak suka jika perbuatan dosanya itu dilihat dan diketahui orang lain.

Perasaan semacam ini hanya berlaku bagi orang yang berjiwa lurus dan berhati baik. Sedangkan orang –orang fasik dan orang-orang yang hobi berbuat dosa, maka jiwa mereka tidak merasa terusik, gelisah ataupun khawatir ketika berbuat dosa. Mereka juga tidak merasa benci jika orang lain mengetahui dosa yang ia lakukan. Parahnya lagi, justru mereka merasa bangga dengan perbuatan dosanya dan mengobralnya di hadapan teman-temannya. Jelas orang-orang seperti ini hatinya telah mati dan mengeras. Sebagaimana tertera dalam hadis di bawah ini :

عَنِ النَّواسِ بنِ سَمعانِ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، عَنِ النَّبيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( البِرُّ حُسْنُ الخُلُقِ ، والإثْمُ : ما حَاكَ في نَفْسِكَ ، وكَرِهْتَ أنْ يَطَّلِعَ عليهِ النَّاسُ )) . رواهُ مسلمٌ
وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، فَقَالَ : (( جِئْتَ تَسْأَلُ عَنِ البِرِّ وَالإِثْمِ ؟ )) قُلْتُ : نعَمْ ، قَالَ : (( اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ ، الِبرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ ، وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ القَلْبُ ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ ، وَتَردَّدَ فِي الصَّدْرِ ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ ))حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَيْنَاهُ فِي ” مُسْنَدَي ” الإِمَامَيْنِ أَحْمَدَ وَالدَّارميِّ بِإسْنَادٍ حَسَنٍ

Dari An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Al-birr adalah husnul khuluq (akhlak yang baik). Sedangkan al-itsm adalah apa yang menggelisahkan dalam dirimu. Engkau tidak suka jika hal itu nampak di hadapan orang lain.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 2553]

Dari Wabishah bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, ‘Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan dan dosa?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebajikan itu adalah apa saja yang jiwa merasa tenang dengannya dan hati merasa tentram kepadanya, sedangkan dosa itu adalah apa saja yang mengganjal dalam hatimu dan membuatmu ragu, meskipun manusia memberi fatwa kepadamu.’” (Hadits hasan. Kami meriwayatkannya dalam dua kitab Musnad dua orang imam: Ahmad bin Hambal dan Ad-Darimi dengan sanad hasan)

Baca Juga:   Besok 9 April Sidang Isbat, Diprediksi Hari Raya Idul Fitri Sama

Hadits ini dari An-Nawwas bin Sim’an, ada yang menyebut pula dengan As-Sam’an. Namun yang lebih masyhur adalah As-Sim’an. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Al-Birr wa Ash-Shilahwa Al-Adab, Bab Tafsir Al-Birr wa Al-Itsm (2553), dari jalur Mu’awiyah bin Shalih, dari ‘Abdurrahman bin Jubair bin Nufair, dari bapaknya, dari An-Nawwas bin Sim’an Al-Anshari. Yang tepat bukan Al-Anshari, namun Al-Kilabi, itulah yang lebih masyhur. An-Nawwas bin Sim’an radhiyallahu ‘anhu, yang tepat adalah radhiyallahu ‘anhuma karena bapaknya juga termasuk sahabat. Demikian keterangan dari Minhah Al-‘Allam (10:21) karya Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan.

Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad Al-‘Abbad Al-Badr mengatakan bahwa hadits An-Nawwas diriwayatkan oleh Imam Muslim. Sedangkan hadits Wabishah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ad-Darimiy, namun dalam sanadnya ada kritikan. Akan tetapi, hadits tersebut memiliki syawahid (penguat) dengan sanad yang jayyid sebagaimana kata Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Hadits Wabishah pun semisal dengan hadits An-Nawwas.

IMPLEMENTASI HADIST

Pertama: Kata para ulama, al-birr bisa bermakna silaturahim (menjalin hubungan dengan kerabat). Kadang juga bisa bermakna cara bergaul yang baik. Juga al-birr bisa bermakna ketaatan. Semua ini termasuk bagian dari husnul khuluq (akhlak yang mulia). Demikian penjelasan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 16:101.

Kedua: Akhlak yang mulia adalah bentuk kebaikan yang paling utama.

Ketiga: Akhlak yang mulia (husnul khulq) adalah berakhlak dengan akhlak yang sesuai syari’at dan beradab dengan adab yang diajarkan oleh Allah kepada hamba-Nya.

Keempat: Al-birr (kebaikan) dimutlakkan untuk setiap perbuatan ketaatan yang lahir maupun yang batin. Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ah Al-Fatawa (7:165) menyebutkan bahwa al-birr adalah segala bentuk perintah Allah.

Kelima: Al-birr juga bisa dimaknakan dengan lawan dari ‘uquq (durhaka). Sehingga ada istilah birul walidain, berbuat baik kepada kedua orang tua. Al-birr dalam istilah bermakna berbuat baik dan menyambung hubungan dengan kedua orang tua.

Keenam: Al-birr juga kadang dikaitkan dengan takwa. Pada saat ini, al-birr berarti menjalankan konsekuensi keimanan dan berakhlak mulia. Sedangkan takwa berarti menjauhi segala yang Allah larang berupa kekufuran, kefasikan, dan maksiat.

Ketujuh: Husnul khuluq (berakhlak baik) bisa jadi kepada manusia dan bisa jadi kepada Allah. Berakhlak kepada Allah mencakup menjalankan kewajiban, menjalankan hal sunnah, meninggalkan keharaman, juga meninggalkan yang makruh.

Kedelapan: Itsm atau dosa yang dimaksud dalam hadits adalah semua dosa.

Kesembilan: Yang dimaksud engkau tidak suka jika dosa itu nampak di sisi manusia. Manusia yang dimaksudkan di sini adalah orang berilmu dan paham agama. Kalau yang melihatnya sama-sama juga ahli maksiat, maka tidak akan punya rasa seperti itu.

Kesepuluh: Hadits ini menunjukkan dorongan untuk berakhlak mulia.

Kesebelas: Dari hadits, dosa itu punya dua tanda: (1) tanda internal, yaitu jiwa merasa tidak tenang ketika melakukannya; (2) tanda eksternal, yaitu tidak senang dilihat oleh orang lain dan takut mendapatkan celaan mereka.

Baca Juga:   5 Keistimewaan Bulan Sya'ban dan Amalan

Kedua belas: Hadits ini menunjukkan bagaimanakah motivasi sahabat dalam mengenal halal dan haram, serta mengenal al-birr dan al-itsm.

Ketiga belas: Orang yang punya fitrah yang baik, malu untuk berbuat dosa dan malu untuk menampakkannya.

Keempat belas: Hendaknya seorang muslim mendahulukan dalam urusan agamanya hal-hal yang jelas halalnya dibanding yang syubhat.

Kelima belas: Orang mukmin yang takut kepada Allah tidaklah melakukan sesuatu yang tidak menenangkan jiwanya walau ada fatwa yang membenarkannya dari luar selama itu bukan perkara yang jelas dalam syariat seperti berbagai rukhsah (keringanan).

Keenam belas: Boleh merujuk pada hati dengan syarat hati yang dirujuk adalah hati dari orang yang istiqamah dalam agama. Karena Allah akan menguatkan orang yang berilmu dengan niatnya yang lurus.

Ketujuh belas: Janganlah seseorang tertipu dengan fatwa manusia lebih-lebih lagi jika ia dapati dalam dirinya kebimbangan. Karena ada seseorang yang meminta fatwa pada seorang alim atau seorang penuntut ilmu, lantas dirinya masih dalam keadaan penuh keraguan, maka keadaan seperti ini bisa membuatnya bertanya pada alim lainnya. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Ibnu Utsaimin, hlm. 299.

Kedelapan belas: Kaedah dalam menerima kebenaran adalah berpegang pada dalil, bukan pada sesuatu yang sudah masyhur di tengah-tengah manusia. Karena dalam hadits disebutkan, “meskipun manusia memberi fatwa kepadamu”. Lihat Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 44 dan Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Ibnu Utsaimin, hlm. 299.

Kesembilan belas: Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Jika sesuatu sudah ada dalilnya, maka hendaklah seorang mukmin tunduk pada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Hendaklah ia terima dengan lapang dada dan rida. Setiap syariat Allah hendaklah ia imani, rida, dan taslim (berserah diri) sebagaimana dalam ayat,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65). Adapun jika sesuatu tidak ada dalil dari Allah dan Rasul-Nya, juga tidak ada contoh dari sahabat dan salafush shalih, apabila seseorang sudah tentram dengan iman dan yakin, lalu hatinya jadi ragu dengan syubhat, dan tidak ada yang memberikan keringanan dalam fatwa kecuali orang yang mengandalkan logikanya padahal orang tersebut tidak terpercaya ilmu dan agamanya, bahkan ia sejatinya adalah pengikut hawa nafsu, dalam kondisi seperti ini, maka hendaklah seorang mukmin merujuk pada hatinya, walaupun berbeda dengan komentar orang yang berfatwa di sekitarnya.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:102-103).


Semoga bermanfaat.

Ilustrasi: @pixabay.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button