Ketahanan Pangan: Indonesia Perlu Belajar Dengan Rusia (Bagian II)
Oleh: Pudiyaka
Menurut catatan tahun 2020, impor bahan pangan negara Indonesia yang nilainya dengan urutan dari yang tertinggi yaitu impor biji gandum & meslin, yang ke-2 impor gula, kemudian kedelai, susu dan urutan ke 5 impor daging.
FAOSTAT mencatat bahwa pada tahun 1990, Indonesia mengimpor gandum belum sampai 2 juta ton per tahun, dan pada tahun 2020 impor gandum sudah lebih dari 10 juta ton. Artinya dalam kurun waktu 30 tahun, impor gandum sudah menjadi lebih dari 5 kali lipat lebih besar.
Akhir-akhir ini Presiden Joko Widodo sudah mulai risau dengan keberadaan impor pangan yang nilainya terus membubung tinggi.
Bahkan saat ini Indonesia telah menjadi negara pengimpor gandum terbesar di dunia. Tiap tahun Indonesia harus impor gandum dengan nilai lebih dari 36 triliun rupiah (US$ 2,6 miliyar). Merupakan jumlah nilai yang sangat besar, yang menguras devisa negara setiap tahunnya.
Apalagi dalam suasana kondisi perang Rusia-Ukraina saat ini, harga minyak bumi dan pangan termasuk gandum ikut membubung tinggi, tentu sangat membebani kondisi perekonomian negara.
Impor energi BBM dan impor gandum saat ini perlu diwaspadai. Jangan sampai mendorong Indonesia termasuk dalam perediksi Bank Dunia yang menyampaikan akan ada kurang lebih 60 negara akan ambruk perekonomiannya, seperti disebutkan Presiden Joko Widodo (14/6/2022).
Indonesia harus mengantisipasi, jangan sampai peristiwa ketergantungan impor pangan yang sangat tinggi dialami Uni Soviet terjadi di Indonesia.
Coba kita ingat, runtuhnya Pemerintahan Presiden Soeharto yang akhirnya mundur pada 21 Mei 1998 digantikan wakilnya, Presiden BJ Habibie melanjutkan sisa masa kepresidenannya, kemudian digantikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 1999 yang masih terus mengalami pergolakan politik yang sangat keras dan akhirnya pemerintahan Gus Dur juga tidak berumur panjang.
Lalu kita coba lihat impor beras menjelang jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto dan pemerintahan Presiden Gus Dur. Saat itu Indonesia impor beras pada tahun 1996 sebesar 2,040 juta ton, pada tahun 1998 impor sebesar 2,793 juta ton dan pada tahun 1999 jumlah impor beras meningkat menjadi 3,055 juta ton. Jelas bahwa pada saat itu membubungnya impor beras diatas 2,0 juta ton, mengkondisikan komoditi beras menjadi komoditi politik, sehingga menjadi pendorong gerakan politik dan memicu kemarahan publik di dalam negeri yang mengancam eksistensi negara NKRI.
Begitu juga peristiwa Pileg dan Pilpres serentak yang digelar 17 April 2019, yang diwarnai pergolakan politik sangat keras dan mengemukanya politik identitas yang dahzat sehingga sangat membahayakan keutuhan NKRI. Pada saat itu juga dapat digambarkan menjelang Pileg dan Pilpres diketahui impor beras pada tahun 2018 melonjak mencapai 2,2 juta ton.
Itu belum kita lihat ketergantungan impor pangan yang lain, impor gandum tiap tahun diketahui terus meningkat.
Juga kita lihat impor gula pada tahun 2001 sebesar 1,28 juta ton, kemudian pada tahun 2018 melonjak menjadi 4,83 juta ton. Dalam kurun waktu 17 tahun, ketergantungan impor gula sudah meningkat 3 kali lebih besar dibanding tahun 2001. Artinya impor gula juga semakin menjadi beban berat devisa negara.
Ditambah lagi impor kedelai, susu dan daging yang jelas juga membebani devisa negara. Apalagi membubungnya harga minyak bumi dan kelangkaan pangan akhibat perang Rusia-Ukraina, dapat dipastikan jumlah subsidi BBM membengkak dan tentu semakin membebani devisa negara.
Solusi dalam menghadapi kondisi yang seperti saat ini, pemerintah perlu waspada tinggi, menghindarkan dari dorongan yang menimbulkan kemarahan publik di dalam negeri. Dengan mencari terobosan untuk mengurangi tingginya ketergantungan impor pangan dan energi. Mengembangkan industri pangan berbasis komodiiti kearifan lokal dengan teknologi tinggi, meningkatkan daya tarik investasi dan memacu ekspor hasil industri yang dihasilkan dari bahan baku menurut kearifan lokal. Dan tentu harus menjaga tingkat inflasi dapat terkendali. (*)