Religi

Larangan Berbuat Zalim ke Sesama Manusia Lebih Berat

Oleh : Ustadz Dr. Bukhori Mukhtar, MA

Hadis ke 24 menjelaskan tentang larangan berbuat dzalim, Allah ta’ala melarang keras tentang perbuatan dzalim ini, Allah ta’ala telah memberikan petunjuk kepada umat manusia yang dalam kesesatan dengan memberikannya hidayah, maka bagi orang-orang yang merasa dirinya tidak berada pada jalan yang benar, jalannya Allah, mintalah hidayah kepadanya dan niscahya allah akan memberikan hidayahnya kepadamu, karena sudah menjadi janji Allah bahwa akan memberikan hidayah kepada orang-orang yang tersesat dan kepada orang-orang yang meminta hidayah kepadanya.

Dikutip dari buku Ensiklopedia Doa Muslimah oleh TIM GIP, secara bahasa zalim adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya atau melakukan sesuatu yang tidak semestinya. Orang disebut zalim jika melakukan sesuatu yang tidak wajar dari apa yang telah digariskan Allah dan rasul-Nya sehingga merugikan orang lain. Semua manusia memiliki potensi untuk berbuat zalim. Itu karena manusia memiliki hawa nafsu. Contoh perbuatan zalim adalah seorang penguasa yang selalu menekan bawahannya agar tetap pada posisinya. Zalim adalah salah satu perbuatan yang diharamkan oleh Allah, sebagaimana dijelaskan dalam hadist Qudsi berikut.
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya aku telah mengharamkan zalim atas diri-Ku. Dan, aku jadikan perbuatan harap di antara kalian. Oleh karena itu, janganlah kalian saling berbuat zalim.” Lebih tegasnya diuraikan dalam haids ke 24 arbain karangan imam Annawawi sebagai berikut :

عَنْ أَبِى ذَرٍّ الغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَفِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ: يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِى أَهْدِكُمْ يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُونِى أُطْعِمْكُمْ يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُونِى أَكْسُكُمْ يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِى أَغْفِرْ لَكُمْ يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّى فَتَضُرُّونِى وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِى فَتَنْفَعُونِى يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِى فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِى إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ يَا عِبَادِى إِنَّمَا هِىَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau meriwayatkan dari Allah ‘azza wa Jalla, sesungguhnya Allah telah berfirman:
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi. Wahai hamba-Ku, kalian semua sesat kecuali orang yang telah Kami beri petunjuk, maka hendaklah kalian minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberinya.
Wahai hamba-Ku, kalian semua adalah orang yang lapar, kecuali orang yang Aku beri makan, maka hendaklah kalian minta makan kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Wahai hamba-Ku, kalian semua asalnya telanjang, kecuali yang telah Aku beri pakaian, maka hendaklah kalian minta pakaian kepada-Ku, pasti Aku memberinya.
Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa pada waktu malam dan siang, dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kalian.

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan dapat membinasakan-Ku dan kalian tak akan dapat memberikan manfaat kepada-Ku. Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertakwa seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga.

Wahai hamba-Ku, jika orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin yang tinggal di bumi ini meminta kepada-Ku, lalu Aku memenuhi seluruh permintaan mereka, tidaklah hal itu mengurangi apa yang ada pada-Ku, kecuali sebagaimana sebatang jarum yang dimasukkan ke laut.
Wahai hamba-Ku, sesungguhnya inilah amal perbuatan kalian. Aku catat semuanya untuk kalian, kemudian Kami akan membalasnya.

Maka barang siapa yang mendapatkan kebaikan, hendaklah bersyukur kepada Allah dan barang siapa mendapatkan selain dari itu, maka janganlah sekali-kali ia menyalahkan kecuali dirinya sendiri.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 6737]
Dalam lanjutan lafaz hadits di atas,
قَالَ سَعِيدٌ كَانَ أَبُو إِدْرِيسَ الْخَوْلاَنِىُّ إِذَا حَدَّثَ بِهَذَا الْحَدِيثِ جَثَا عَلَى رُكْبَتَيْه
“Sa’id berkata bahwa dulu ketika Abu Idris Al-Khawlaniy (yang meriwayatkan hadits ini) jika dia membacakan hadits ini dia langsung tersungkur untuk berlutut.” Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:33.
Kami katakan: Suatu pelajaran penting dari kisah ini. Lihatlah bahwa para salaf dahulu, hati-hati mereka lebih terpengaruh dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kandungannya yang sangat mendalam dan begitu mengena. Mereka tidaklah terpengaruh dengan cerita-cerita bualan dan fiktif seperti kebiasaan orang saat ini. Orang-orang saat ini hanya bisa terpengaruh jika membaca novel yang menyedihkan yang sebenarnya ditulis atas dasar bualan. Dan inilah tipu daya iblis terhadap mereka. Novel-novel saat ini membuat mereka menjauh dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta jalan hidup salaf (generasi terbaik umat ini) yang sebenarnya penuh dengan lautan ilmu dan terdapat kisah-kisah/ pelajaran-pelajaran yang amat menyentuh hati. Tetapi saat ini banyak yang melalaikannya. Hati siapakah yang rusak? Hati ulama terdahulu ataukah orang saat ini?
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)

Baca Juga:   Pengertian Haji Furoda, Katanya Berangkat Tak Pakai Antre

Allah mengharamkan tindak zalim
Dalam hadits ini, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.”
Berikut adalah perkataan Syaikh Abdul Muhsin dalam Fath Al-Qawi, “Kezaliman adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Allah telah mengharamkan kezaliman atas dirinya dan menghalanginya dari dirinya. Padahal Allah itu memiliki qudrah (kemampuan), namun tidak ada kezaliman dari Allah selamanya. Hal ini disebabkan kesempurnaan keadilan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا اللَّهُ يُرِيدُ ظُلْمًا لِلْعِبَادِ
“Dan Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadap hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Mukmin: 31)
وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
“Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menzalimi hamba-hambaNya.” (QS. Fushshilat: 46)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ النَّاسَ شَيْئًا
“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikit pun.” (QS. Yunus: 44)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah.” (QS. An Nisaa’: 40)
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا
“Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal yang saleh dan ia dalam keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya.” (QS. Thaha: 112). Maksudnya adalah tidak perlu takut (gusar) dengan kebaikan yang berkurang ataupun kejelekan yang bertambah atau pula akan ditimpakan kejelekan dari orang lain.

Ayat-ayat di atas dijelaskan tentang dinafikannya (ditiadakannya) kezaliman dari Allah Ta’ala, maka ini mengandung adanya penetapan sifat keadilan yang sempurna dari Allah Ta’ala.
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,“Allah menciptakan perbuatan hamba, di dalamnya terdapat suatu bentuk kezaliman yang dilakukan oleh hamba tersebut, maka ini tidaklah berarti Allah juga bersifat zalim. Sebagaimana Allah juga tidak disifati dengan sifat-sifat jelek lainnya yang dilakukan oleh hamba, walaupun setiap perbuatan hamba adalah makluk dan takdir (ketetapan) Allah. Allah tidaklah disifati kecuali dengan perbuatan-Nya saja dan tidak disifati dengan perbuatan hamba-Nya. Setiap perbuatan hamba adalah makhluk dan ciptaan-Nya. Namun, Allah tidaklah disifati dengan sesuatu dari perbuatan hamba tersebut. Allah hanyalah disifati dengan sifat dan perbuatan yang Dia melakukannya sendiri. Wallahu a’lam.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:36)

Kezaliman itu ada dua. Pertama, menzalimi diri sendiri, yang paling parah adalah berbuat syirik. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’.” (QS. Luqman: 13)
Kedua, seorang hamba menzalimi orang lain. Dalam hadits disebutkan,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِى شَهْرِكُمْ هَذَا ، فِى بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah, harta, kehormatan di antara kalian itu haram sebagaimana haramnya hari kalian ini, bulan kalian ini, dan negeri kalian ini.” (HR. Bukhari, no. 67 dan Muslim, no. 1679)

Semua hamba dalam keadaan tak tahu arah
D
alam lanjutan hadits ini, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai hamba-Ku, kalian semua sesat kecuali orang yang telah Kami beri petunjuk, maka hendaklah kalian minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberinya.”
Disebutkan dalam Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam (2:39), sebagian orang mungkin ada yang mengatakan bahwa hadits ini bertentangan dengan hadits ‘Iyadh bin Himar di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنِّى خَلَقْتُ عِبَادِى حُنَفَاءَ
“Aku menciptakan hamba-Ku dalam keadaan berada di jalan yang lurus.” (HR. Muslim, no. 2865). Dalam riwayat lainnya dikatakan, “Dalam keadaan muslim lalu setan mengalihkannya dari jalan yang lurus.”
Hal ini tidaklah demikian. Tetapi yang dimaksudkan adalah bahwa Allah menciptakan Bani Adam (keturunan Adam) dalam keadaan menerima Islam dan condong kepadanya, bukan pada yang lainnya. Namun, setiap orang tidaklah bisa tetap dalam fitrah ini kecuali dengan adanya kekuatan. Yaitu seseorang harus mempelajari Islam. Karena seseorang sebelum belajar, dia berada dalam keadaan jahil (bodoh), tidak mengetahui apa-apa, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

Baca Juga:   20 April 2023, Kemenag Gelar Sidang Isbat 1 Syawal 1444 H

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun.” (QS. An-Nahl: 78)
Allah juga mengatakan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang sesat, lalu Dia memberikan petunjuk.” (QS. Adh-Dhuha: 7). Dan yang dimaksudkan adalah Allah mendapatimu dalam keadaan tidak mengetahui apa yang ia ajarkan dari Al-Kitab dan Al-Hikmah.

Hal ini juga semakna dengan firman Allah Ta’ala,
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu.” (QS. Asy Syuura: 52)
Oleh karena itu, manusia pada asalnya dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu menerima kebenaran. Jika Allah memberi petunjuk pada seseorang, Allah akan memberinya sebab dengan diajarkan mengenai petunjuk. Jadilah, dia orang yang mendapatkan petunjuk dengan perbuatan setelah sebelumnya dia menjadi orang yang mendapatkan petunjuk dengan kekuatan pada dirinya (usahanya). Namun, jika Allah ingin menelantarkan seseorang, Allah akan menakdirkan baginya dengan diajarkan berbagai hal yang menyebabkan seseorang keluar dari fitrah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap bayi yang lahir berada di atas fitrahnya. Lalu ayahnya-lah yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Bukhari, no. 1385 dan Muslim, no. 2658)

Dalam hadits ini terdapat perintah untuk meminta hidayah kepada Allah. Hidayah di sini meliputi hidayah petunjuk berupa pemberian penjelasan ilmu (hidayah ad-dalalah wal irsyad) dan hidayah taufik untuk beramal dan menerima dakwah (hidayah at-tawfiq wa at-tasydid). (Ingatlah), kebutuhan hamba pada hidayah melebihi kebutuhannya pada makan dan minum.

Sebagaimana terdapat dalam surah Al-Fatihah. Dalam ayat itu, kita selalu meminta kepada Allah Ta’ala hidayah yang baru dan menambahkan kita hidayah dari hidayah yang sudah ada.

Sangat butuh pada-Nya
Dalam lanjutan hadits ini, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai hamba-Ku, kalian semua adalah orang yang lapar, kecuali orang yang Aku beri makan, maka hendaklah kalian minta makan kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Wahai hamba-Ku, kalian semua asalnya telanjang, kecuali yang telah Aku beri pakaian, maka hendaklah kalian minta pakaian kepada-Ku, pasti Aku memberinya.”
Dalam dua kalimat ini menunjukkan bahwa hamba sangat butuh kepada Rabbnya. Kebutuhan mereka kepada Rabbnya adalah dalam memperoleh rezeki dan pakaian. Mereka sebagai hamba-hamba Allah haruslah hanya meminta kepada-Nya baik dalam masalah makanan dan pakaian.
Menurut Abdul Aziz ibn Fauzan ibn Shalih dalam buku Fikih Sosial Tuntunan dan Etika Hidup Bermasyarakat, zalim digolongkan menjadi tiga macam, yakni:

  1. Zalim seorang manusia dengan menyekutukan Allah
    Bentuk zalim ini merupakan zalim yang dianggap paling buruk oleh Allah. Allah berfirman dalam surat Luqman ayat 13 yang berbunyi:
    وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
    Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya,“Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
    Orang yang menyekutukan Allah disebut dengan syirik. Itu merupakan perbuatan dosa yang sangat besar.
  2. Zalim seorang manusia dengan berbuat maksiat kepada Allah. Semua hamba wajib menyembah Allah SWT, mengesakan-Nya, menaati peraturannya, dan tidak berbuat maksiat kepada-Nya. Jika melanggar hal tersebut, mereka termasuk orang-orang yang zalim. Allah SWT berfirman dalam surat Ath-Talaq ayat 1 yang artinya: “Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Engkau tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah hal yang baru.” Allah SWT adalah yang Maha Kaya. Dia tidak membutuhkan manfaat dari ketaatan manusia. Perbuatan maksiat manusia tidak akan membahayakan-Nya. Manfaat dan mudharat itu akan kembali kepada masing-masing manusia.
  3. Zalim seorang manusia kepada sesama. Bentuk zalim ini lebih berat dari sebelumnya. Allah tidak akan membiarkan seorang yang zalim terhadap sesama. Seseorang tidak akan terhindar dari dosa zalim ini dengan hanya sekedar berhenti dan menyesali pebuatan yang dilakukan.

Diriwaatkan dari Abu Bakar Al-Warraq, dia berkata, “Perkara yang banyak menyebabkan terlepasnya iman dalam hati adalah berlaku zalim terhadap sesama manusia.”
Allah SWT telah memperingatkan untuk tidak saling berbuat zalim antarsesama dalam hadist Qusdy, “Wahai hambaku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kezaliman terhadap diriku dan menjadikannya di antara kalian dilarang , maka janganlah kalian menzalimi.” (HR Muslim)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button