Opini

Ukraina dan Ketergantungan Indonesia Impor Gandum

Oleh: Pudiyaka

Indonesia menghadapi ketergantungan impor gandum yang sangat tinggi, apalagi dalam suasana konflik antara Rusia-Ukraina yang melibatkan sekutu NATO terutama Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa saat ini.

Terjadinya perang antara Rusia-Ukraina yang menjadi semakin meluas ditunjukkan dengan terlibatnya sekutu NATO terutama Uni Eropa dan AS yang memasok persenjataan ke Ukraina untuk menyerang Rusia.

Ditambah lagi dengan sikap AS dan Uni Eropa yang memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Sehingga Rusia menghadapi masalah ekspor gas, minyak dan gandum yang diboikot NATO, dengan kebijakan Uni Eropa yang menghentikan impor gas dari Rusia.

Namun faktanya, tidak semua negara Uni Eropa siap menghentikan impor gas dari Rusia, karena lebih dari 40% kebutuhan gas Uni Eropa bergantung kepada impor gas dari Rusia.

Melihat tingginya ketergantungan sekutu NATO tersebut, dan beban berat tekanan yang dihadapi Rusia. Akhirnya pihak Rusia juga memaksa melakukan serangan dengan memainkan mata uang Rubel, untuk membalikkan sanksi yang menekan Rusia. Dengan tegas Presiden Rusia, Vladimir Putin mengambil keputusan bagi negara pengimpor gas yang tidak bersahabat, harus membayar dengan mata uang Rubel, atau pasokan impor gas dihentikan oleh Rusia. Keputusan itu menguntungkan Rusia dan akibatnya terjadi kelangkaan energi di Uni Eropa yang memicu kelangkaan energi dunia, yang juga memicu kenaikan harga energi dan mengakibatkan tingkat inflasi yang tinggi.

Disisi lain serangan Rusia ke Ukraina terus berlangsung yang menghancurkan kedaulatan negara, infrastruktur dan sistem pertahanan di Ukraina sehingga melumpuhkan aktivitas sosial-ekonomi di sana.

Akibat perang Rusia-Ukraina, dan sanksi NATO menyebabkan kekacauan global, dan inflasi dimana-mana yang memicu terjadinya Perang Dunia III.

Dampak Terhadap Indonesia
Kondisi ekonomi dan politik Indonesia jelas ikut terdampak. Kita lihat terkait dengan pasokan gandum ke Indonesia. Berdasarkan catatan FAOSTAT, 2020, Indonesia merupakan importir gandum terbesar di dunia. Posisinya telah mengungguli negara Turki dan Mesir.

Berdasarkan data tersebut Indonesia secara konsisten mengimpor gandum dan meslin (kode HS 1001), dengan volume di atas 10 juta ton dalam kurun 2016 hingga 2020. Bahkan pada 2017, volume impor gandum Indonesia menembus 11,43 juta ton. Berdasarkan data terbaru pada 2020, Indonesia mengimpor gandum dengan volume sebanyak 10,29 juta ton.

Baca Juga:   Kebijakan Perberasan di Sumsel Perlu Dievaluasi

Kebangkitan Indonesia impor gandum ini berawal dari kerjasama AS yang memperkenalkan paket kerjasama ekonomi dalam perdagangan dan industri gandum dari tahun 1969, yang akibatnya membelenggu Indonesia menjadi ketergantungan kebutuhan impor gandum terus menjadi semakin besar, dan upaya mengganti produk gandum dengan diversifikasi pangan lokal tidak serius dilakukan, bahkan saat ini besar konsumsi gandum Indonesia sudah bersaing dengan konsumsi beras dalam negeri. Ini adalah masalah besar dalam kedaulatan pangan di Indonesia.

Produk gandum yang sampai di Indonesia kini telah terfasilitasi infrastruktur canggih dalam skala luas, sehingga gandum yang masuk bisa diolah menjadi berbagai jenis tepung terigu, sehingga menjadi bahan baku utama dari sejumlah bahan pangan favorit yang digemari masyarakat Indonesia.

Produk gandum telah dikembangkan dengan diversifikasi produk dalam berbagai bentuk antara lain menjadi mie, roti, kue dan sejumlah produk pangan lain. Selain itu, gandum juga dibutuhkan untuk campuran bahan baku pakan ternak.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Fransiscus Welirang pada 2019, menyebutkan bahwa 90 persen gandum yang diimpor Indonesia digunakan untuk industri tepung terigu. Sementara itu, 10 persen sisanya di antaranya digunakan untuk kebutuhan lain seperti campuran bahan baku pakan ternak.

Ketergantungan Impor Gandum
Sebagai importir gandum terbesar di dunia, Indonesia akan sangat rawan terganggu dalam mendapatkan pasokan komoditas gandum. Apalagi Ukraina dan Rusia adalah dua negara pemasok utama gandum ke seluruh dunia.

Pada 2020 lalu, Rusia mengekspor 37,26 juta ton gandum. Sedangkan Ukraina mengekspor sebanyak 18,1 juta ton pada periode yang sama. Apabila ketegangan antara Ukraina dan Rusia terus berlanjut, dapat diperkirakan pasokan produk dari kedua negara itu berpeluang terhambat atau mengalami gangguan, tak terkecuali komoditi gandum. “Sejumlah barang berpeluang terhambat pengirimannya ketika konflik antara Rusia dan Ukraina terus berlangsung dan membesar, tak terkecuali gandum,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies, Kamis (25/2/2022).

Efek konflik Ukraina dan Rusia membuat harga gandum di pasar global mencapai level tertingginya dalam 9 tahun terakhir. Berdasarkan data dari Bursa Chichago, harga gandum pada Kamis (24/2/2022) menembus US$932,75 per bushel. Salah satu sentimen utama yang mengirim harga gandum naik adalah kekhawatiran terhadap penguncian akses terhadap Rusia dan Ukraina, sehingga membuat pengiriman produk seperti gandum terganggu.

Baca Juga:   Luas Panen Padi Lampung Kejar Posisi Sumsel

Ketergantungan impor gandum yang tinggi, berpeluang membuat Indonesia sangat rawan tersengat oleh efek perang Ukraina dan Rusia. Sebab, Ukraina merupakan negara pemasok gandum terbesar bagi Indonesia. Data dari FAOSTAT, 2020 melaporkan, volume impor gandum Indonesia dari Ukraina mencapai 2,96 juta ton. Ukraina mengungguli Argentina dan Kanada sebagai pemasok gandum terbesar kedua dan ketiga bagi Indonesia.

Volume impor Indonesia dari kedua negara itu masing-masing sebanyak 2,6 juta ton dan 2,3 juta ton. Volume impor gandum Indonesia dari Ukraina tercatat meningkat pesat sejak 2010. Dengan demikian, tergambar bagaimana tingginya ketergantungan impor gandum Indonesia terhadap Ukraina.

Apalagi jika Ukraina benar-benar harus terisolasi dalam hal pengiriman barang, maka Indonesia harus bersaing dengan negara lain seperti Mesir dan Bangladesh untuk mencari negara pemasok lain.

Mesir dan Bangladesh merupakan importir terbesar kedua dan ketiga produk gandum dari Ukraina.

Berdasarkan data BPS, diketahui sejak 2010 Australia merupakan pemasok terbesar gandum ke Indonesia, sebelum merosot drastis mulai 2017. Sejak 2010-2017 Australia konsisten memasok lebih dari 3 juta ton gandum ke Indonesia. Namun mulai pada 2018 volume ekspornya turun menjadi sekitar 2,8 juta ton sebelum akhirnya merosot di kisaran 800.000 ton pada 2019-2020.

Di sisi lain, potensi gangguan pasokan dan kenaikan harga gandum tersebut berpeluang menekan sejumlah perusahaan Indonesia, utamanya yang mengimpor dan mengolah komoditas pangan tersebut. Berdasarkan penelitian CDMI Consulting, pada 2017 terdapat lima perusahaan yang paling banyak melakukan impor gandum. Peringkat pertama terdapat nama PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF) yang mengimpor sebanyak 4,78 juta ton gandum. Posisi INDF itu disusul oleh PT Bungasari Flour Mills Indonesia, PT Agristar Grain Indonesia, PT Eastern Pearl Flour Mills, PT Sriboga Flour Mills dan 20 perusahaan importir gandum lainnya. (*)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button